Budaya Indonesia memiliki segudang potensi yang bisa dimanfaatkan secara komersial, terutama di bidang kerajinan, seni, kuliner, dan –tentu saja—pariwisata. Industri kecil dan menengah pun bukannya tidak menyadari hal ini. Sudah banyak pelaku UMKM yang terjun mengolah budaya lokal Nusantara dan memasarkannya baik secara lokal maupun nasional. Namun, tidak banyak yang berhasil bertahan, lantaran kurang pengetahuan dalam cara mengemas dan memasarkannya. Bagaimana cara bertahan dan berkembang di industri budaya dan pariwisata?

Baca Juga : Mengenalkan Kuliner Nusantara Ala Winny Soendaroe


Apa sih Kerennya Budaya Indonesia?

Di saat banyak usaha dan brand saat ini berkiblat pada budaya-budaya Barat dan Korea Selatan, salah satu brand buatan anak bangsa, Dagadu, tetap konsisten mempertahankan konsep budaya lokal. Dari berjualan produk-produk merchandising (oleh-oleh), mereka kemudian juga merambah ke bidang kolaborasi dan pariwisata bersama UMKM lokal. Brand ini tergolong kreatif untuk memperkenalkan kultur Indonesia, terutama Yogyakarta dan mewujudkannya dalam bentuk suatu program budaya yang menarik. Sebenarnya apa yang begitu menarik dari budaya lokal bagi Dagadu?

Baca Juga : DAGADU: Ikon Silang Budaya dan Pariwisata Yogyakarta

Agra Locita, Marketing & Brand Development PT. Aseli Dagadu Djokdja, membagikan pandangannya dalam menjawab hal ini. Menurut Agra, jika kita cermati lagi apa yang dikatakan oleh orang tua dan generasi-generasi sebelum kita, sebenarnya banyak terkandung hal-hal baik di dalam sana. Ini berlaku untuk semua daerah di Indonesia. Agra sendiri merupakan orang Solo yang lahir di Jakarta dan harus kembali ke kampung halamannya saat menuntut ilmu. Saat pertama kali datang, ia juga merasa terasing karena gaya hidup orang Solo yang jauh lebih lambat dan tenang dibandingkan penduduk Jakarta yang serba cepat dan buru-buru. Di Solo, harus banyak menunggu dan sabar untuk sesuatu. Bicara harus lembut, dan banyak aturannya. Ia pun dulu heran, mengapa harus mengikuti gaya hidup seperti itu.

Namun, setelah dijalaninya sehari-hari, terutama saat pandemi begini, barulah hal-hal yang dikatakan mereka terlihat kebenarannya. Pandemi mendadak menghentikan segala hal, dan kita seakan diingatkan bahwa hidup itu bukan lomba maraton. Jadi, sebenarnya banyak sekali nilai-nilai baik yang ditanamkan oleh para leluhur kita di dalam budaya lokal itu. Saat tengah bingung dengan kehidupan dengan kejadian tak terduga seperti sekarang ini, kita bisa kembali melihat ke ajaran orangtua dulu yang termaktub dalam budaya lokal. “Dan tanpa kita sadari, sebenarnya nilai-nilai ini cocok dengan kita dan bisa membuat hidup lebih baik jika ingin dicermati. Inilah salah satu alasan kenapa budaya Indonesia harus tetap dipertahankan,” tutur Agra.

Baca Juga : Lima Alasan Kenapa Budaya Inovasi Penting Bagi UMKM


Mengemas Budaya Lokal Agar Tetap Relevan

Menurut Agra, tidak ada salahnya bila kemudian kita mengemas budaya lokal ini dalam sesuatu yang relevan dengan masa kini. “Selama ini orang-orang mengidentikkan Yogyakarta hanya dengan segelintir tempat, misalnya saja Pasar Beringharjo atau Candi Prambanan. Kehidupan sosial masyarakat juga berkembang dengan ikon-ikon seperti itu,” jelasnya. Beberapa waktu lalu, Dagadu pernah membuat tagline Yogyakarta sebagai kota Kosmopolitan, alias kota yang banyak kosan-nya. Lantaran statusnya sebagai kota pelajar, banyak orang muda datang untuk sekolah dan kuliah. Yogyakarta kemudian menjadi kota yang semarak dengan berbagai macam manusia dan penuh dengan kos-kos yang berderet. Fenomena inilah yang saat itu dicoba direkam oleh Dagadu. Diartikan dalam bentuk visual, namun bisa juga pemaknaannya lebih dari itu.

Baca Juga : Tips Menembus Jaringan Retail Modern Untuk UKM

Jika kita sekarang senang dengan drama korea, kita bisa perhatikan bahwa di balik tren glamor K-Pop dan romansa drama korea, mereka sebenarnya gencar mempromosikan budaya lokal negaranya. “Sedikit-sedikit, pasti diselipkan cara membuat kimchi, upacara tradisional tahun baru Korea, itu kan secara gak langsung budaya mereka dimasukkan, tapi dalam bentuk kemasan yang lebih modern. Jadi kenapa kita tidak melakukan hal yang sama?” ujar Agra. Menurut Agra dan timnya, nilai-nilai leluhur yang dikemas secara modern, tentu lebih mudah diperkenalkan ke khalayak luas.


Mengenalkan Sejarah Lokal Lewat Pariwisata Interaktif

Dagadu adalah termasuk salah satu perusahaan yang berjualan tidak hanya untuk profit, tapi juga untuk pengembangan budaya lokal lewat teman-teman UMKM. Menurut Agra, mereka merangkul UKM yang membawa kearifan lokal dan budaya, dengan cara mengajak kolaborasi dan kerjasama membuat program-program baru yang menarik.

Salah satunya adalah kolaborasi bersama komunitas Kita Muda Kreatif dan BUMN, dengan tema Candi Prambanan dan Ratu Boko. Di sini, mereka membuat paket wisata anak-anak untuk belajar menjadi arkeologis muda. Tidak harus anak-anak, paket ini bisa juga diambil oleh orang-orang yang baru mengenal arkeologi. Dulu, sebelum pandemi, mereka membuat format seperti outbond. Setelah pandemi, ada beberapa paket yang butuh penyesuaian, namun tetap dijalankan secara interaktif. Dagadu bergabung di divisi bidang kreatifnya, membuat ilustrasi dari Roro Jonggrang. “Kalau selama ini Roro Jonggrang dikatakan sebagai mitos, Dagadu mencoba buat ilustrasi yang bisa dipahami arkeologis-arkeologis muda,” ujar Agra. Hal ini diwujudkan dalam bentuk alat peraga, buku, yang bisa dipahami orang-orang yang mengambil paket ini, dengan wisata juga ke tempat pariwisata yang bersangkutan.

Baca Juga : Peran Rumah BUMN Bagi UMKM


Mengembangkan Kuliner Nusantara

Dari bidang kuliner, banyak juga ide-ide kreatif yang bermunculan. Salah satunya adalah menjual masakan lokal di restoran dengan harga yang selangit, lewat penyajian mewah layaknya french cuisine. “Kalau bicara kebudayaan, apalagi kuliner, sebenarnya apa saja bisa diolah,” jelas Alexander Nayoan, Ketua PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) Learning Center.

Menurutnya, sepuluh tahun lalu, kita hanya bisa membeli gado-gado di warung. Beberapa waktu belakangan, menu ini sudah mulai ditaruh di menu-menu restoran, dan saat ini kita bisa dengan gampang memesannya via online delivery order. Mengapa makanan-makanan ini bisa selalu bertahan? Karena pasarnya masih selalu ada, dan penjualannya mengikuti perkembangan zaman. Jika kemudian dijual di restoran khusus masakan khas lokal, dikemas dengan cantik, mewah, lalu dibandrol dengan harga mahal, justru bagus. Artinya, pasaran masakan dan jajanan lokal sudah naik level dan memasuki pasar kalangan menengah ke atas.

Baca Juga : Menjaga Standar Mutu Bisnis Kuliner Waralaba

Artinya, saat sebuah produk dibawa naik level, dikemas sesuai perkembangan zaman, akhirnya ada nilai tambah yang membuatnya makin digemari. Setelah mengetahui ini, teman-teman UKM harus lebih kreatif dan pintar dalam mengembangkannya. Agra dari Dagadu menceritakan sebua

Daerah Bayat, di Klaten, terkenal dengan gerabahnya yang dibuat dengan teknik miring. Satu-satunya dan banyak diteliti oleh Jepang. Dibuat satu pusat studi di Bayat membuat gerabah dengan teknik putaran miring. Menariknya, pemuda di sana mencoba membagikan informasi tentang gerabah dari Bayat. “Caranya adalah selain mereka membuat workshop tentang bagaimana teknik ini dipraktikkan dan mereka membuat produk yang bisa dikreasikan di rumah,” ujar Agra. Misalnya saja, gerabahnya bisa dibatik, dengan kreasi sendiri, dan bisa dilakukan oleh anak-anak di rumah. Disediakan special kit nya untuk ini.

Untuk pengolahan dan pengemasan kekinian, bisa belajar dari proyek Keripik Mangrove dari Wakatobi. Saat menjualnya, anak-anak muda membuat narasi dari latar belakang produk ini sendiri, seperti dari mana asal bahannya, dari mana asal mangrove-nya. Cerita seperti ini di masa sekarang sangat menarik bagi konsumen. Informasi kandungan gizi dan manfaat yang tertera bisa membujuk mereka menjadikan Keripik Mangrove yang unggul dari segi gizi sebagai makanan alternatif.

Baca Juga : Potensi Ekspor Keripik

Semua kuliner dan kerajinan nusantara sejatinya bisa dikembangkan sebagai bisnis. Tinggal bagaimana kita mengemasnya, membuat narasinya, dan mengkreasikannya. Kemasan sangat penting, dan jika bisa harus dibuat sedemikian rupa sehingga tampak modern dan bisa dikonsumsi orang-orang yang tidak berasal dari daerah produk budaya tersebut dihasilkan. Kemasan bisa dibuat semenarik dan seinformatif mungkin. Karena jika tidak, nantinya orang-orang lain akan bingung.


Packaging dan Merchandising

Jika sebuah produk kuliner nusantara sudah mengantongi sertifikasi, tentu akan lebih mudah bagi mereka untuk mendunia, bahkan menjadi oleh-oleh khas Indonesia. Namun, tentu harus menggunakan metode yang tepat. Alexander memberi contoh dalam bentuk kue mochi yang –semua orang tahu—adalah kuliner khas Jepang yang mendunia. Padahal, membuat kue mochi sangatlah gampang. Teknik pemasarannya yang patut dipelajari.

Apa yang dilakukan orang Jepang, bukanlah mengemas kue mochi sebagai oleh –oleh dan menyesuaikan pengemasannya dengan selera pasar dunia. Mereka tetap membuat, mengemas, dan menjualnya seperti biasa, seperti saat mereka menjual untuk sesama warga Jepang. Namun, saat warga Jepang pergi keluar negeri, mereka selalu membawa oleh-oleh kue mochi untuk orang-orang yang mereka kunjungi di negara tujuan. Ada saja alasan mereka memberi mochi, mulai dari rasa terima kasih, pelayanan baik, hingga keramahan yang mereka terima. Sembari membagikan, tentu mereka juga kerap memberi informasi tentang kekhasan kue mochi. Di sinilah kekuatan narasi berperan, dikemas dalam bentuk semenarik mungkin.

Baca Juga : Mempersiapkan Kemasan (Packaging) untuk Memenuhi Standar Ekspor

Pengemasan dilanjutkan dengan me. Inilah yang dinamakan merchandising, orang Jepang secara kolektif mem-branding kue mochi sebagai oleh-oleh khas negara mereka. Bagaimana cara membungkus produk dengan desain sederhana namun khas Jepang, rangkaian kata, servis, dan keramahan. “Merchandising untuk berjalan baik tentu memerlukan promosi, yang saya sarankan mengumpulkan pegiat kuliner yang satu kategori, kumpulkan, lalu buat suatu asosiasi. Jika perang sendiri, tentu berat, tapi kalau beramai-ramai mengiklankan, membuat materi promosi, akan jauh lebih mudah karena bisa didistribusi pekerjaannya apa,” jelas Alexander. Selain itu, teman-teman UKM juga bisa menghubungi pemerintah daerah untuk membicarakan tentang bagaimana mempromosikan produk kuliner lokal yang teman-teman produksi.

Biasakan pula orang daerah jika keluar daerah, membawa ubi kayu sebagai oleh-oleh untuk siapapun yang ingin mereka kunjungi. Ini nanti perlahan akan tersebar luas informasinya, orang-orang akan ingin tahu di mana membelinya. Saat itu, channel distribusi kita haruslah siap, entah website atau sosial media, untuk menerima pesanan. Lewat hal ini, teman-teman UKM juga bisa belajar untuk selalu siap mencoba segala hal baru guna mengembangkan produk lokal.

Baca Juga : Pawon Narasa : Eggroll Lezat Berbahan Baku Tepung Lokal

Tips bisnis ini disadur dari webinar “Mengembangkan Bisnis Budaya dan Pariwisata Untuk Kebanggan Bangsa”, yang dapat diakses melalui link berikut.

Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.

***