Dalam artikel yang lalu telah dibahas bagaimana perusahaan-perusahaan komersial dapat melakukan transformasi menjadi perusahaan sosial. Namun demikian, lantaran sebagian besar perusahaan komersial tidak memiliki visi yang demikian, pertanyaannya adalah bagaimana mereka dapat memanfaatkan perkembangan bisnis sosial.

Di luar transformasi itu, ada empat lagi moda pemanfaatan bisnis sosial. Pertama, sebagai teladan dalam pelaksanaan berbagai program dan projek CSR. Kedua, sebagai mitra dalam pelaksanaan program dan projek itu. Ketiga, sebagai kendaraan bagi perusahaan untuk melaksanakannya. Keempat, sebagai cara pengembangan sumberdaya manusia perusahaan. Yang terakhir ini disebut sebagai social intrapreneurship.

Di dalam konsep social intrapreneurship, perusahaan mengembangkan individu dan kelompok individu pekerja yang mengkopi sifat para social entrepreneur. Sifat yang dimaksud adalah bersikeras untuk membantu memecahkan beragam persoalan ekonomi-sosial-lingkungan yang dihadapi masyarakat dan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan sebagai akibat atau dampak ikutan dari pemecahan masalah itu.

Social intrapreneur-lah yang membangun produk-produk paling terkenal dari GE dengan Ecomagination-nya. Demikian pula, teknologi Intel yang sangat menghemat air, dan produk Levi’s yang juga menurunkan kebutuhan air untuk pencuciannya. Seluruhnya disandarkan pada kesadaran bahwa masalah-masalah lingkungan tengah dihadapi masyarakat global.

Kesadaran itu memunculkan produk-produk yang membantu memecahkan masalah itu, dan menjadikan popularitas produk-produk itu melesat di masyarakat yang kesadaran lingkungannya sudah tinggi. Tetapi, masyarakat manapun tahu bahwa penghematan adalah baik, karena itu berarti juga penghematan uang. Itulah yang membuat banyak di antara produk itu akhirnya menjadi popular di masyarakat umum.

Terkait dengan beragam permasalah ekonomi dan sosial, para social intrapreneur juga telah membantu banyak sekali perusahaan dalam mengembangkan produk yang memecahkan beragam masalah mulai dari ketimpangan pendapatan, akses modal, akses kesehatan, dan sebagainya. Karena itu, majalah Forbes menyatakan bahwa di tahun 2014 para social intrapreneur adalah pekerja teladan di majoritas perusahaan besar.

Perbedaan penting antara pekerja biasa dengan para social intrapreneur sangatlah jelas. Kebanyakan pekerja perusahaan hanya memikirkan tugas yang diberikan kepada mereka terkait hanya dengan pengejaran keuntungan perusahaan lewat produk yang sudah ditentukan. Di sisi lain, mereka yang bekerja di bagian CSR perusahaan biasanya hanya berfokus kepada manfaat untuk pemangku kepentingan eksternal.

Sementara, social intrapreneur tak membatasi diri dalam mencapai kedua tujuan sekaligus. Mereka kerap menciptakan produk baru, bahkan membuat model bisnis yang sama sekali berbeda. Mereka memang inovator sosial. Oleh karena itu, bersetuju dengan Forbes, pakar manajemen keberlanjutan dari UC Berkeley, Emma Stewart, memberikan julukan rock star employees kepada mereka.

Kalau sebuah perusahaan memanfaatkan pendekatan creating shared value (CSV), yang diajukan oleh Michael Porter dan Mark Kramer, dengan mudah mereka akan memanfaatkan para social intrapreneur itu. Sifat CSV yang juga menggunakan pendekatan saling menguntungkan antara perusahaan dengan masyarakat menjadi sangat kompatibel dengan pekerja jenis itu.

Bagaimana kalau perusahaan tidak memiliki visi dan misi yang setegas CSV? Mereka mungkin saja akan mendapati manfaat dari para social intrapreneur. Tetapi, jelas tidak akan mudah. Perusahaan-perusahaan yang tidak ingin memecahkan masalah masyarakat dengan sungguh-sungguh, akan sulit menerima pekerja yang punya pemikiran menyeimbangkan tujuan sosial dan komersial. Jadi, kalau mau memanfaatkan mereka secara optimal, perusahaan harus bersiap mengubah visi dan misi mereka, lalu bersiap dengan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Begitulah cerita perusahaan-perusahaan yang berhasil memanfaatkan social intrapreneurship.


Sumber:

Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 11 Februari 2016.

Penulis: Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)