Istilah UMKM atau Usaha Mikro Kecil Menengah kian ramai digunakan dan disuarakan oleh berbagai pihak. Bukan hanya oleh pelakunya sendiri, tapi tentunya oleh pemerintah, juga organisasi pendukung dan penggiatnya, NGO atau LSM, sampai perwakilan korporasi yang ingin meningkatkan dampak sosial mereka dengan mendukung UMKM melalui ragam program Tanggung Jawab Sosial (Corporate Social Responsibility). Oh ya,  para akademisi dan juga politisi juga kian sering membahas UMKM. Hal ini tak terlepas dari fakta bahwa memang keberadaan pelaku UMKM sangat penting bagi perekonomian kita, dan peran layanannya sungguh nyata dalam mengisi ragam kebutuhan hidup kita sehari-hari.

Memberdayakan UMKM juga merupakan wujud penerapan Ekonomi Kerakyatan dan elemen krusial untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif, dimana rembesan keuntungan tak terpusat ke kalangan investor atau pelaku usaha besar saja, tapi juga bisa terdistribusi ke kalangan masyarakat menengah bawah dengan lebih merata. Terlebih di era sekarang, dimana setiap aktor-aktor pembangunan juga dituntut untuk bekerja kolaboratif untuk mewujudkan Sustainable Development Goals yang digalakkan oleh PBB sejak 2015 lalu dan menggaungkan 17 misi pembangunan global; baik pemerintah maupun korporasi, semakin terdorong untuk turut mendukung agenda pemberdayaan UMKM. Hal ini khususnya karena peran UMKM berkaitan erat dengan misi 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), Misi 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur), dan Misi 10 (Mengurangi Ketimpangan).  

Jika sekarang di pikiran anda muncul salah satu pertanyaan ini, "Mengapa, sih UMKM penting? Bagaimana karakteristik mereka? Seperti apa sih aktivitas usaha mereka? Seperti apa pula skala usaha mereka, apakah penghasilan mereka cukup tinggi dan menarik?", selamat, anda telah sampai di artikel yang tepat, karena kita akan membahas itu semua disini. 

Baca Juga: Bisnis Sosial dan SDGs

I. Siapa itu UMKM? Mengenal Kriteria UMKM

Terkadang kami menerima pertanyaan, "min, saya tuh bisnis laundry, bukan produksi snack, saya tu UMKM kah?" "Saya TNI, tapi istri saya buka warung kecil, istri saya apakah UMKM?" Nah, untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat mulai dengan mengenal kriteria UMKM yang disusun oleh pemerintah melalui regulasi yang ada. Penting bagi kita untuk merujuk pada regulasi ini, agar di kepala kita semua terdapat suatu makna yang sama atas suatu istilah UMKM, sehingga dapat mempermudah proses komunikasi kita dengan pihak mana pun mengenai tema ini.

Di Indonesia, definisi atau makna dari UMKM telah diperjelas pada Undang-Undang yang mengatur tentang UMKM adalah UU No. 20/2008, dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Secara prinsip, definisinya sama pada kedua peraturan tersebut, yaitu: 

  • Usaha Mikro adalah usaha procluktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur
    dalam Peraturan Pemerintah ini.
  • Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam pe;att:ran pemerintah ini.
  • Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau rnenjadi bagian baik langsung maupun ticlak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Menengah sebagaimana yang diatur dalam peraturan pemerintah ini.

Bagaimana batasan skala usaha antara Usaha yang dianggap Mikro, Kecil, atau Menengah? Yuk kita lihat perbandingan kriteria skala UMKM pada kedua peraturan tersebut? Yuk lihat tabel di bawah ini.

Tabel 1. Perbandingan Kriteria UMKM dan Usaha Besar Berdasarkan UU No.20/2008 versus PP No.7/2021 

Dari tabel di atas, kita dapat melihat bahwa, selain terjadi perubahan kriteria, juga terjadi perubahan standar batas nilai pada kriteria tersebut. Dulu, kriteria UMKM dilihat dari kriteria Omset dan Aset; namun sekarang, adalah kriteria Omset dan Modal. Dulu, omset Rp500 juta per tahun, sudah bisa disebut sebagai skala Usaha Kecil; namun sekarang, masih tergolong skala Usaha Mikro, karena standar batas nilainya sudah dinaikkan menjadi Rp2 miliar per tahun. Dulu, omset Rp3 miliar per tahun, sudah dianggap Usaha Menengah, namun sekarang, masih dianggap sebagai Usaha Kecil.   

Kembali ke pertanyaan tadi, apakah istri TNI yang punya warung merupakan pelaku UMKM? Maka jawabannya adalah YA, selama usahanya adalah dimiliki oleh orang (bukan anak perusahaan dari sebuah PT, Koperasi, atau Badan Usaha lainnya), omsetnya masih di bawah Rp50 miliar per tahun dan modal nya di bawah Rp10 miliar. Jika misalnya, modalnya dulu adalah Rp5 juta, dan omset saat ini sekitar Rp50 juta per bulan atau Rp600 juta per tahun, maka, bisnis warung ibu tersebut dapat digolongkan sebagai Usaha Mikro. 

Baca Juga: Tips Melakukan Riset Pasar Bagi UMKM


II. Bagaimana UMKM Penting? Mengenal Peran dan Kontribusi UMKM untuk Perekonomian Indonesia 

Sebagai orang Indonesia, pemandangan dan aktivitas kita sehari-hari tak lepas dari berbagai layanan dan produk hasil kreasi pelaku UMKM. Dimulai dengan aktivitas pagi hari ketika sarapan kita mencari bubur atau kue-kue makanan ringan yang dijual UMKM, membeli kebutuhan pokok di warung dekat rumah, sampai menitipkan anak di playgroup mencuci pakaian di jasa laundry terdekat yang juga adalah merupakan UMKM.

Adapun di era digital saat ini, bahkan ada pula yang tidak memiliki toko serta hanya memasarkan produknya secara online, dan belum memiliki perizinan usaha. Pelaku usaha dengan karakteristik tersebut dapat ditemukan disekitar kita baik itu saudara, tetangga, teman atau kita sendiri. UMKM memang dicirikan oleh skala usahanya yang "kecil" jika dibandingkan perusahaan-perusahaan besar yang produknya mudah kita temukan di toko-toko modern. Namun jangan salah, "si kecil" ini memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dan krusial bagi perekonomian kita.

Tanpa UMKM, maka mayoritas orang Indonesia tidak akan punya pekerjaan. UMKM, khususnya Usaha Mikro, juga menjadi sarana mempekerjakan diri sendiri bagi puluhan juta orang Indonesia. Kementerian Koperasi dan UKM RI melaporkan bahwa dari total sekitar 64,2 juta unit usaha yang ada di Indonesia (2018), 99,99% adalah UMKM , sementara Usaha Besar hanya 0,01% atau sekitar 5550 unit. 

Dari sisi tenaga kerja, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada tahun 2018 terdapat sekitar 126,28 juta jiwa tenaga kerja. Nah, mereka ini bekerja ke mana saja? Mari kita rinci, ya. Pertama, jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja untuk pemerintah stabil di sekitar 4.2 juta  jiwa ((3,3% dari total tenaga kerja). Kedua,  yang bekerja untuk perusahaan bukan milik swasta alias karyawan BUMN sekitar 1.6 juta (1,27%). Ketiga, adalah yang bekerja di perusahaan milik swasta skala Usaha Besar, menurut data Kemenkop UKM RI menyerap sekitar 3,6 juta jiwa (2,85%). Adapun "usaha milik swasta" yang dimaksud disini adalah usaha yang bukan dimiliki oleh negara (sektor publik) atau perusahaan milik negara (BUMN).

Dengan demikian, sisa tenaga kerja yang masih sangat banyak itu, diserap oleh kegiatan usaha swasta lain yang skalanya belum besar, yang tak lain dan tak bukan adalah UMKM!! Jadi, sekitar 117 juta jiwa lainnya atau sekitar 92,65% dari total tenaga kerja kita itu bekerja sebagai dan untuk UMKM. Usaha Mikro menyerap sekitar 107 juta tenaga kerja (84,9%), Usaha Kecil 5,8 juta (4,5%), dan Usaha Menengah 3,7 juta (2,95%). Dari data ini kita bisa melihat dengan jelas bahwa dari seluruh UMKM, justru Usaha Mikro-lah yang paling berjasa dalam menyerap tenaga kerja. Semua pelakunya telah minimal memberi pekerjaan untuk diri mereka sendiri (self-employed), dan sebagian dari mereka juga telah mempekerjakan setidaknya 1 orang lain. Hal ini terlihat dari hasil pembagian dari angka total tenaga kerja di Usaha Mikro (107 juta) terhadap total unit Usaha Mikro (63,3 juta), yang hasilnya masih dibawah 2, yaitu sekitar 1,7.   

Tak hanya dari serapan tenaga kerja, pada tabel 2 atau 3 di bawah, kita juga bisa melihat bahwa UMKM memberikan kontribusi sekitar 61% terhadap total Pendapatan Kotor (Bruto) yang dihasilkan dan berputar di Indonesia. Usaha Mikro sendiri memberikan kontribusi sekitar 45%. Dapatkah Anda bayangkan betapa pincangnya perekonomian kita jika tidak ada UMKM? itu ratusan juta orang mau kerja ke mana? 

Maka dari itu, selain peran sebagai aktor ekonomi, peran krusial lain yang dijalankan oleh UMKM - khususnya Usaha Mikro - sebenarnya adalah sebagai agen perdamaian dan keamanan negara. Pernahkah kita membayangkan apabila puluhan juta pelaku Usaha Mikro tersebut tidak berjiwa mandiri untuk mempekerjakan diri mereka sendiri, dan malah mogok turun ke jalan untuk menuntut negara memberi mereka pekerjaan? Betapa kacaunya kondisi negara kita, mungkin tak akan ada investor yang mau menanamkan modalnya di Indonesia, mungkin gak ada perusahaan-perusaahn baru yang berhasil tumbuh besar disini. Pelaku Usaha Mikro inilah yang menjadi pemungkin utama sampai terciptanya suasana yang aman dan damai, serta stabilitas ekonomi bisa terjadi di Indonesia. Sehingga, mereka juga merupakan pemungkin bagi investor dan perusahaan besar untuk bisa menanamkan modal dan bertumbuh dengan tenang. Peran perdamaian dan keamanan ini agaknya masih belum banyak disadari oleh banyak orang.   

 Baca Juga: Pengendalian Produksi


III. Sebanyak Apa Mereka? Mengetahui Jumlah UMKM dan Strukturnya

Seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, jumlah UMKM yang diperkirakan pemerintah (Kemenkop UKM RI dan BPS) juga terus bertambah, namun secara struktur tidak banyak berubah. Seperti yang Anda dapat akses disini, pada 2008 dilaporkan oleh BPS dan Kemenkop UKM RI bahwa jumlah UMKM adalah sebanyak 51.4 juta unit, sementara Usaha Besar hanya 4650 unit. Jadi sejak saat itu, proporsi UMKM memang 99.99% dari total unit usaha yang ada. Struktur seperti ini, masih terjadi sampai sekarang, pertanda bahwa semua program-program dan kebijakan pemberdayaan UMKM yang dikerjakan pemerintah maupun berbagai pihak lainnya, belum berhasil memberikan dampak signifikan sehingga belum bisa memperbaiki masalah struktural pada profil UMKM kita ini.  

Bank Dunia menyebut fenomena struktural pada UMKM kita ini dengan istilah missing middle atau "kosong di tengah", karena UMKM kita itu terlaaaalu banyak pelaku Usaha Mikro-nya. Jika menggunakan kriteria tahun 2008, maka 98.7% UMKM kita adalah Usaha Mikro; jika menggunakan kriteria tahun 2021, maka 99.6% adalah Usaha Mikro. Di Malaysia saja, proporsi Usaha Mikro itu hanya 78.4%, Usaha Kecil 20%, Usaha Menengah 1.6%, dan proporsi Usaha Besar-nya sudah 3%, sementara kita baru 0.01% saja!  Ini adalah potret betapa rendahnya produktivitas aktor-aktor pelaku usaha di Indonesia. Di Uni Eropa berbeda lagi, namun tetap, proporsi Usaha Mikro-nya hanya 93% dari total unit usaha di sana. 

Agar lebih jelas, mari lihat tiga tabel di bawah ini, yang menunjukkan jumlah unit dan proporsi Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Besar di Indonesia - berdasarkan dua kriteria yang berbeda (UU No.8/2008 versus PP No.7/2021).  

Tabel 2. Jumlah UMKM, Struktur Proporsi, dan Gambaran Umum Produktivitasnya (berdasarkan kriteria UMKM di PP No.7/2021)

Tabel 3. Jumlah UMKM, Struktur Proporsi, dan Gambaran Umum Produktivitasnya (berdasarkan kriteria UMKM di UU No.8/2008)

Bagaimanakah menafsirkan rincian data di atas? Berikut penjelasannya. 

  1. Kalau usaha Anda sudah berhasil cetak omset miliaran per tahun, tapi masih di bawah Rp 2 miliar, jangan cepat puas dan sudah merasa "besar". Mengapa? Karena di mata negara, usaha Anda masih dikategorikan sebagai Usaha Mikro. 
  2. Rata-rata Pendapatan Bruto (Laba Kotor) pelaku Usaha Mikro hanya sekitar Rp99,2 juta per tahun. Jika diambil rata-rata Laba Bersih adalah sekitar 40%-nya, maka sekitar Rp40 juta per tahun, atau sekitar Rp3.3 juta per bulan. Nilai ini sekitar 55% dari Rata-rata penghasilan orang Indonesia yaitu sekitar Rp5,9 juta per orang per bulan (tahun 2022). Masih sangat rendah, kan? Hal inilah yang membuat pelaku usaha yang punya omset 1 miliaran itu secara relatif sudah merasa omsetnya sudah "gede banget" . 
  3. Kriteria UMKM yang baru meningkatkan batas atas Usaha Mikro menjadi omset Rp2 miliar per tahun. Namun, karena rata-rata produktivitasnya bahkan belum menyentuh (Laba Kotor) Rp100 juta per tahun, istilah Usaha Ultra Mikro (UMi) menjadi relevan untuk digunakan bagi kelompok Pelaku Usaha yang memenuhi kriteria Usaha Mikro lama, yaitu yang omsetnya di bawah Rp300 juta per tahun. Hal ini penting untuk kebijakan atau rancangan program, dimana kategori target penerima program perlu dibuat dengan lebih spesifik agar lebih tepat sasaran. Jadi, kita bisa punya pemahaman yang sama dalam berkomunikasi. Jika menyebut Usaha Ultra Mikro, artinya sedang membicarakan pelaku usaha yang omsetnya di bawah Rp300 juta per tahun; lalu ketika menyebut Usaha Mikro, artinya bicara tentang kelompok yang omsetnya sudah di atas Rp300 juta sampai Rp2 miliar per tahun.
  4. Berdasarkan kriteria baru juga, kita mendapat suatu pola, bahwa hanya sekitar 3 dari 1000 unit usaha saja yang dapat sukses naik kelas menjadi Usaha Kecil, dan hanya 7 dari 10.000 unit saja yang dapat sukses naik kelas menjadi Usaha Menengah. Sementara yang sukses naik kelas hingga jadi Usaha Besar hanya 1 dari 10.000 usaha saja. 
  5. Jika kriteria lama dan baru disinkronkan, maka terdapat indikasi bahwa proporsi Pelaku UMi adalah sekitar 98.7%, Usaha Mikro sekitar 0,9%, Usaha Kecil 0,3%, dan Usaha Menengah hanya 0,07%.
  6. Pola struktur ini tidak banyak berubah sejak tahun 2015, artinya terjadi fenomena stagnasi usaha di kalangan Usaha Ultra Mikro dan Usaha Mikro. 

Baca juga: Mengenal Standar SNI untuk Produksi


IV. Mereka Beroperasi di Bidang Apa Saja? Mengenal Bidang Usaha UMKM

Jumlah UMKM sangat banyak. Jika dibandingkan dengan jumlah unit Usaha Besar yang hanya sekitar 5.500 unit, maka jumlah UMKM lebih dari 10.000 kali lebih banyak! UMKM sebanyak itu, bergerak di bidang usaha apa saja, ya?

Berdasarkan paparan dari perwakilan BPS di suatu FGD yang pernah kami selenggarakan bersama Kementerian Koperasi dan UKM RI (pada 31 Oktober 2017), disampaikan bahwa secara umum bidang usaha UMKM dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu Pertanian dan Non-Pertanian. Jumlah usaha di kelompok Pertanian dihitung melalui Sensus Pertanian 2013 (bukan survei); sementara yang non-pertanian dihitung melalui Sensus Ekonomi 2016. Kondisi ini membuat perhitungan total jumlah UMKM menjadi agak membingungkan, karena kita tidak bisa langsung menjumlahkan total usaha pertanian (2013) dengan total usaha non-pertanian (2016).

Terlebih, pada Sensus Ekonomi 2016, BPS mengkategorikan publikasi datanya ke dalam 2 kelompok: Usaha Mikro Kecil (UMK) dan Usaha Menengah Besar (UMB); jadi kita tidak bisa mengetahui rincian per skala mikro, kecil, menengah, dan besar. Untuk melakukan ini mungkin butuh akses ke database mentah hasil Sensus Ekonomi 2016 tersebut.

Alih-alih mempermasalahkan soal data, setidaknya dari hasil Sensus Pertanian BPS 2013, kita bisa mengetahui bahwa jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian adalah 26.135.469 unit; diantaranya ada 0.016%atau sekitar 4200 unit yang sudah berbadan hukum. Sementara berdasarkan hasil Sensus Ekonomi BPS 2016, diketahui bahwa jumlah UMK adalah 26.263.649 unit, sementara jumlah UMB adalah 447.352 unit. Bagaimana mengenai Bidang usahanya? Berikut kami sajikan distribusi Bidang Usaha untuk UMK.


Sumber: Sensus Ekonomi 2016, http://se2016.bps.go.id, diolah penulis

Berdasarkan diagram di atas, berikut ini merupakan 3 bidang usaha UMK non-pertanian yang jumlah pelaku usahanya menempati urutan teratas dalam perekonomian nasional:

Baca Juga: Mengidentifikasi Peta Persaingan Supaya Bisnis Tetap Unggul

1. Perdagangan besar & eceran

Usaha di bidang perdagangan besar dan eceran adalah penjualan barang tanpa adanya proses merubah bentuk produk yang diperdagangkan, kecuali sebagai kegiatan penyortiran atau pengemasan ulang. Contohnya adalah pedagang buah-buahan yang membeli buah dalam skala besar (truk) untuk dijual kembali secara eceran (kiloan); atau distributor kripik yang mengumpulkan kripik yang diproduksi oleh beberapa ibu rumah tangga, untuk kemudian dikemas, diberi label, dan dijual secara eceran pula.

2. Penyediaan akomodasi & penyediaan makan minum

Usaha akomodasi dan penyediaan makan minum mencakup jenis usaha restoran, rumah makan, jasa boga (katering), pusat penjualan makanan (food court), kafe dll. Usaha katering yang melayani penyediaan makanan untuk acara atau kebutuhan logistik (misalnya pengadaan makanan atau snack untuk pesawat terbang, kereta api. kapal, dll) juga termasuk ke dalam kategori ini.

3. Industri pengolahan

Industri pengolahan meliputi berbagai kegiatan produksi yang mengubah bentuk bahan baku/mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang siap digunakan atau dikonsumsi. Misalnya industri kain yang mengubah kapas menjadi kain; atau industri konveksi yang mengubah bentuk kain menjadi berbagai jenis pakaian; atau industri minuman dalam kemasan yang mengubah berbagai jenis buah menjadi minuman jus di dalam botol yang siap dikonsumsi. Adapun di kategori Industri Pengolahan ini (manufaktur), terdapat sekitar 4,3 juta pelaku UMKM (BPS, 2022), yang mayoritas bergerak di 5 bidang Industri, yaitu Makanan dan Minuman (36,7%); Kerajinan Kayu dan anyaman (14%); Pakaian jadi (13,7%); Tekstil (7%), dan Barang galian bukan logam seperti industri tepung, mika, dll (5%); dan furnitur (3.5%). Rinciannya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Jumlah Perusahaan di Bidang Industri Pengolahan - Berdasarkan KBLI 2 Digit

KBLI 2 digit (Deskripsi)
Jumlah Industri Mikro dan Kecil (2022)
Mikro Kecil Total IMK %
10 Makanan 1.566.258 26.060 1.592.318 36,70%
16 Kayu, , Barang dari Kayu dan Gabus (Tidak Termasuk Furnitur) dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan sejenisnya 603.459 5.072 608.531 14,02%
14 Pakaian Jadi 578.969 15.943 594.912 13,71%
13 Tekstil 299.642 3.843 303.485 6,99%
32 Pengolahan Lainnya 259.201 2.435 261.636 6,03%
23 Barang Galian Bukan Logam 206.889 11.206 218.095 5,03%
12 Pengolahan Tembakau 172.396 24.225 196.621 4,53%
31 Furnitur 141.382 7.245 148.627 3,43%
25 Barang Logam, Bukan Mesin dan Peralatannya 126.071 3.785 129.856 2,99%
11 Minuman 101.074 1.461 102.535 2,36%
15 Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 56.051 4.709 60.760 1,40%
20 Bahan Kimia dan Barang dari Bahan Kimia 31.286 481 31.767 0,73%
18 Pencetakan dan Reproduksi Media Rekaman 28.266 3.006 31.272 0,72%
21 Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional 17.893 443 18.336 0,42%
24 Logam Dasar 7.749 108 7.857 0,18%
30 Alat Angkutan Lainnya 6.121 255 6.376 0,15%
22 Karet, Barang dari Karet dan Plastik 5.690 523 6.213 0,14%
33 Jasa Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan 5.462 243 5.705 0,13%
17 Kertas dan Barang dari Kertas 4.896 311 5.207 0,12%
29 Kendaraan Bermotor, Trailer dan Semi Trailer 2.936 503 3.439 0,08%
28 Mesin dan Perlengkapan ytdl 2.797 295 3.092 0,07%
27 Peralatan Listrik 1.770 179 1.949 0,04%
26 Komputer, Barang Elektronik dan Optik 615 24 639 0,01%
19 Produk dari Batu Bara dan Pengilangan Minyak Bumi 0 0 0 0,00%
JUMLAH 4.226.873 112.355 4.339.228 100%

Sumber: BPS, 2022 

Baca Juga: Pembiayaan Ultra Mikro


V. Sehatkah struktur UMKM Indonesia?

Ini adalah pertanyaan yang sering saya tanyakan ke diri sendiri juga. Apakah struktur UMKM Indonesia yang sangat didominasi oleh Usaha Mikro ini sehat?  

Untuk menjawab itu, ada baiknya kita coba mengintip struktur UMKM di negara lain yang tingkat kesejahteraannya sudah lebih baik daripada Indonesia. Berdasarkan ketersediaan data, setidaknya melalui artikel ini kita bisa melihat profil UMKM di Malaysia dan Uni Eropa. Setiap negara menyajikan data aktivitas perekonomian di negaranya berbeda-beda. Seperti Malaysia misalnya, saya belum berhasil menemukan kontribusi ekonomi dan serapan tenaga kerja UMKM disana yang dirinci ke masing-masing kelompok skala usaha, sementara di Uni Eropa ada rinciannya, seperti yang disajikan pada tabel berikut. 

Tabel 5. Struktur UMKM dan Kontribusinya bagi Perekonomian di Malaysia dan Uni Eropa 

Skala Usaha
Jumlah Unit Persentase Unit Usaha Serapan Tenaga Kerja Kontribusi terhadap
Pendapatan Domestik Bruto
Jumlah % %
Malaysia
UMKM 1.173.601 97,4% 7.315.000 47,8% 37,4%
Besar 31.386 2,6% 7.975.000 52,2% 62,6%
Total 1.204.987 15.290.000
Uni Eropa
Mikro 23.184.184 93,5% 57.359.400 29,40% 18,60%
Kecil 1.363.776 5,5% 37.849.400 19,40% 16,50%
Menengah 198.367 0,8% 30.240.500 15,50% 16,60%
Besar 49.592 0,2% 69.650.700 35,70% 48,30%
Total 24.795.918 100,0% 195.100.000 100,00% 100,00%

Sumber data: ADB Asia SME Monitor for Malaysia (2021) dan European Union SME Performance Review Report 2022 

Dari data di atas dapat dilihat bahwa ternyata di negara yang lebih maju, jumlah UMKM juga mendominasi proporsi jumlah unit usaha.  Di Malaysia 97,4% dan di Uni Eropa 99,8%. Tapi, di kedua negara tersebut, proporsi Usaha Mikro-nya tidak sebesar di Indonesia yang besar sekali, yaitu 99,6%. Sementara di Malaysia hanya 78,4% dan di Uni eropa 93,5%. Sementara proporsi UKM-nya, di Malaysia sekitar 19% dan di Uni Eropa 6,3%. Sementara di Indonesia, hanya 0,37%!! Inilah alasan mengapa negara kita disebut mengalami masalah missing middle pada struktur UMKM-nya. Di Indonesia, masalah stunting agaknya bukan hanya terjadi pada konteks gizi anak yang menyebabkan pertumbuhan tinggi badan jadi lebih lambat, tapi juga di konteks UMKM kita, karena para pelaku Usaha Mikro-nya tampak begitu sulit bertumbuh lebih besar, akhirnya mandeg atau mengalami stagnasi.  

Sebelumnya kita telah menghitung jumlah serapan Tenaga Kerja ke total unit Usaha Mikro di Indonesia, hasilnya adalah 1,7; sementara di Uni Eropa, hasilnya adalah 2,5. Artinya, pelaku Usaha Mikro di sana, sudah menjadi mesin pencipta kerja, karena secara rata-rata, Usaha Mikro disana mempekerjakan 1,5 orang selain diri pemilik usaha sendiri. Sementara di Indonesia, Usaha Mikro cenderung menjadi sarana untuk mempekerjakan diri sendiri.

Jadi Sahabat Wirausaha, dibalik besarnya peran dan jasa Usaha Mikro untuk keamanan dan perekonomian bangsa, ternyata kondisi mereka saat ini masih dapat dikatakan belum sehat betul, karena masih dibayangkan oleh masalah produktivitas rendah. Jika produktivitasnya baik, tentulah lebih banyak Usaha Mikro kita yang bisa naik kelas ke skala Usaha Kecil atau Menengah. Selain itu, tentulah rata-rata serapan tenaga kerjanya juga dapat lebih tinggi.

Jika kita berharap struktur UMKM kita bisa setidaknya seperti Uni Eropa, artinya, kita perlu mengurangi proporsi Usaha Mikro kita saat ini sebanyak 6.1% atau berkurang sebanyak 3,86 juta unit!! Adapun menguranginya sendiri dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, mendampingi dan mengakselerasi mereka agar bisa tumbuh jadi unit Usaha Kecil Menengah (UKM); kedua, mendampingi dan mengkonsolidasi mereka agar mau bergabung (merger) - baik menjadi 1 koperasi, perseroan terbatas dengan berbagi saham, atau melalui suatu ikatan kemitraan bisnis lainnya - sehingga jumlah Usaha Mikro berkurang karena bergabung, dan bersama-sama menjadi Usaha Kecil baru. 

Berhubung Pelaku UMKM kita banyak sekali yang bergerak di sektor pertanian, skenario kedua ini sangat relevan untuk digalakkan. Namun untuk mewujudkannya sangat dibutuhkan investasi yang besar untuk edukasi dan pendampingan. Rendahnya kompetensi manajerial kebanyakan pelaku Usaha Mikro di Indonesia membuat banyak hal terkait pengelolaan bisnis memang belum dijalankan dengan profesional, sehingga belum sesuai dengan standar praktik bisnis yang berlaku umum. Sehingga, untuk mengkoneksikannya dengan akses modal atau akses pasar yang lebih besar juga menjadi sulit, akibat buruknya pencatatan keuangan, tidak jelasnya standar mutu, dan juga belum adanya prosedur pembagian tugas dan wewenang yang jelas pula pada struktur organisasinya. 

Selain itu, untuk meningkatkan produktivitas dan kedaulatan perekonomian kita, sebenarnya kita juga masih sangat perlu lebih banyak UKM naik kelas hingga menjadi Usaha Besar. Di Malaysia saja, jumlah Usaha Besarnya ada sekitar 31000 unit, masa' di Indonesia yang penduduknya 8 kali lebih besar, hanya 5500 unit? Padahal kriteria UKM di Malaysia sudah lebih tinggi daripada kriteria kita, yaitu omset per tahun MYR50 juta atau sekitar Rp150 miliar per tahun dan karyawan maksimal 200 orang. Jadi, perusahaan omset Rp70 miliar per tahun dan karyawan 150 orang, di Indonesia kan sudah dianggap Usaha Besar tuh, tapi di Malaysia, perusahaan ini baru tergolong Usaha Menengah. Kalau pakai kriteria Malaysia, mungkin jumlah Usaha Besar kita bukan sekitar 5500 unit, jangan-jangan jadi tinggal 2000an, aja tuh?   

Baca Juga: Akselerasi UMKM Naik Kelas melalui Pendampingan


VI. Renungan Bersama: Bagaimana Memberdayakan UMKM dengan Lebih Efektif agar Bisa #NaikKelasBeneran?

Demikianlah potret UMKM kita, si kecil yang berperan besar, dan merupakan penopang keamanan, kelancaran, dan stabilitas perekonomian nasional Indonesia. Namun sayangnya, UMKM kita masih dibayangi dengan masalah missing middle yang tak lain merupakan masalah stagnasi produktivitas, sehingga mayoritas Usaha Mikro kita tak kunjung bertumbuh dan naik kelas ke skala Usaha Kecil, Menengah, apalagi ke Usaha Besar.

Maka dari itu, efektifitas berbagai kebijakan dan program pemberdayaan UMKM selama ini tentulah perlu kita dipertanyakan bersama. Salah satu aspirasi yang sering kami terima dari pelaku UMKM adalah tingginya permintaan untuk mendapatkan pendampingan terstruktur dan berkelanjutan, yang tidak berhenti di satu kegiatan seremonial saja, tanpa kelanjutan apa-apa setelah itu. Program seperti inilah yang banyak tersedia di Indonesia. Sudah tahu hasil dan dampaknya tidak efektif, entah mengapa, metode ini masih terus dilakukan. 

Disisi lain, banyak pula pelaku UMKM, khususnya pelaku Usaha Mikro, yang sudah terjebak di zona nyaman, khususnya ketika omset dan profit usahanya sudah dirasa cukup untuk menghidupi keluarganya, bisa menabung, dan tak punya hutang. Padahal untuk bisa jadi tuan di negara kita sendiri, kita perlu banyak sosok wirausaha UMKM yang berdaya juang tinggi, tak cepat puas, serta inovasi dan bertumbuh terus, sampai menjadi Usaha Besar baru. Untuk kejar Malaysia saja, kita butuh cetak sekitar 28.000 unit Usaha Besar baru lho! 

Pendampingan Terstruktur dan Berkelanjutan adalah Kunci

Jika asumsi tingkat kesuksesan program pendampingan 3-5 tahun adalah 1%, maka, kita perlu mendampingi setidaknya 2,8 juta unit UMKM terpilih. Bukan hanya dilatih dan diedukasi, tapi juga diberi pendampingan oleh mentor ahli, dibukakan jaringan pasar dan modal yang lebih luas, dan juga mungkin perlu didukung dana untuk riset, inovasi, dan juga rekrutasi sumber daya manusianya. 

Jika diasumsikan nilai anggaran rata-rata untuk pendampingan 1 tahun adalah sekitar Rp10 juta per UMKM, maka akan dibutuhkan anggaran sekitar Rp28 trilyun per tahun! Ini hanya sekitar 40% dari total anggaran Dana Desa yang Rp70 trilyun itu lho! Ini juga hanya sekitar 1,5 kali dari anggaran untuk subsidi bunga KUR yang bisa habis Rp15-18 triliun per tahun, padahal hampir tidak ada dampaknya bagi peningkatan produktivitas penerimanya. Kalau komit 5 tahun saja, maka total investasi yang perlu dialokasikan adalah sekitar Rp140 triliun. Masuk akal, kah

Tentunya tergantung ya, selama desain programnya efektif, bebas korupsi, dan target 1% sukses dapat dicapai, maka dalam 5 tahun akan ada sekitar 31.000 unit Usaha Besar di Indonesia. Jika rata-rata kontribusi Laba Kotor atau Nilai Tambah atau Pendapatan Domestik Bruto-nya Rp300 miliar per tahun saja, maka akan dihasilkan Rp9300 triliun. Mari lanjutkan hayalan kita dengan mengasumsikan net profit margin sekitar 20% dari Laba Kotor tadi, maka total profit Usaha Besar yang akan menjadi objek pajak adalah Rp1860 triliun. Dengan asumsi tarif Pajak Penghasilan Badan Usaha adalah 22% dari profit, maka potensi pendapatan pajaknya adalah 22%*Rp1860 triliun = Rp409,2 triliun!! 

Kira-kira, untung gak, investasi Rp140 triliun, bisa balik Rp409,2 triliun dalam 5 tahun? Ini hanya simulasi sederhana lho, ya!     

Baca Juga: Ragam Bentuk Pelestarian Lingkungan Untuk UMKM

Orang bijak berkata, dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Jadi jika ada kemauan, mestinya bisa disusun suatu program pendampingan Usaha Mikro Kecil dengan kurikulum yang terstruktur dan berkelanjutan, dengan alat monitoring dan evaluasi pendampingan yang juga jelas. Penyaluran dana-dana hibah untuk usaha juga dapat diatur ulang agar bisa disalurkan dengan skema reimbursement berdasarkan pencapaian. Misalnya, program pelatihan dan pendampingan ekspor, dengan insentif reimburse biaya Jasa Shipment atau Forwarder  yang bisa diklaim setelah ada bukti pengiriman dan pembayaran dari pihak buyer. Dengan begini, penerima dana program akan jauh lebih tepat sasaran, dibanding subsidi bunga KUR yang dapat diterima oleh pelaku usaha yang mungkin niatnya hanya untuk renovasi rumah, atau ekspansi usaha namun tetap ingin bergerak di sektor informal agar bisa selamanya tidak terdeteksi pajak.   

Tapi ya, yang namanya program terstruktur dan berkelanjutan, tentunya harus ada orkestrasi dan konduktornya. Siapa yang akan menjadi leading sector-nya? Kementerian Koperasi dan UKM RI, Kemendes, Kemenko Perekonomian? Road map Kebijakan UMKM Nasional saja kita tidak punya. Ibarat orkestra, kita ini seperti musisi yang bukan saja tidak jelas dirijennya siapa, tapi juga tidak punya partiture yang dapat dirujuk oleh setiap pemain. Apakah mungkin kita bisa menghasilkan melodi yang harmoni?

Baca Juga: Manfaat Memberdayakan Perempuan Dalam Bisnis

Tapi ya sudahlah, saya sudah terlalu banyak berandai-andai. Daripada berandai-andai lebih baik berdoa semoga semakin banyak pihak yang peduli dan memberikan aksi nyata untuk memberdayakan UMKM, khususnya Usaha Mikro, agar lebih banyak yang bisa #NaikKelasBeneran. Sejatinya, jika memang pemberdayaan UMKM itu isu penting, maka basis data yang lengkap dan dokumen road map itu ada. Tapi 5 tahun telah berlalu. Artikel ini pertama kali ditulis pada Agustus 2018, dan diperbarui pada 30 Januari 2024, dan kedua sarana penting tadi, masih belum kunjung kita miliki. Apakah isu UMKM ini benar-benar penting? atau, hanya penting untuk jadi omon-omon, saja?

Yang jelas, rakyat sudah lelah jargon, yang sangat tidak berguna untuk bayar tagihan itu. Terima kasih kepada seluruh Sahabat Wirausaha, penggiat, dan fasilitator pendampingan UMKM, karena semangat kemandirian dan konsistensi Anda semua, telah menguatkan pondasi perekonomian kita semua, hingga mampu bertahan menghadapi pandemi dan juga tensi geopolitik yang tengah "panas" akibat perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa menguatkan kita, agar kita bisa terus konsisten berkarya dan berjuang, sampai kita semua bisa sukses meningkatkan kesejahteraan dan #naikkelasbeneran menjadi UMKM yang bermakna #UsahaMandiriKreatifMiliaran. 

Sebaik-baiknya manusia adalah yang banyak manfaatnya untuk manusia lain dan lingkungan. Jangan lupa berbagi ya kalau sudah sukses nanti! Oh ya, jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.

Referensi:

Tulisan ini diperbarui pada 30 Januari 2024. Semua referensi data dan literatur sudah ditautkan langsung pada frasa atau data yang sesuai.