Dalam wacana dan praktik bisnis sosial, salah satu bentuk perusahaan yang semakin penting diperhatikan adalah perusahaan komunitas. Ia adalah bagian dari perusahaan sosial, namun memiliki sifat khusus karena kepemilikan, tata kelola, dan penerima manfaat utamanya adalah masyarakat. Tulisan ini hendak mengupas mengapa sifat khusus itu sangatlah penting untuk dikembangkan bila kita ingin memastikan ekonomi yang lebih berkeadilan.

Pada tahun 1995, David Korten menerbitkan bukunya yang segera menjadi karya klasik, When Corporations Rule the World. Buku tersebut disandarkan pada refleksinya bersama-sama para pemimpin LSM di Asia Tenggara—termasuk dari Indonesia—yang berkumpul bersamanya di Baguio, Filipina, tentang kondisi perekonomian Asia dan dunia. Refleksi itu menghasikan kekhawatiran bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat pada kawasan dan periode tersebut sesungguhnya bersifat semu, lantaran beragam masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan juga menyertainya.

Ketimpangan ekonomi dan sosial serta kerusakan alam adalah hasil dari mekanisme pasar yang aktor utamanya adalah korporasi atau perusahaan besar. Perusahaan besar cenderung untuk melakukan eksternalisasi biaya yang timbul pada masyarakat dan lingkungan. Hal ini antara lain karena merasa bahwa mereka hanyalah sekadar pendatang yang datang untuk mengekstraksi sumberdaya alam dan manusia, serta memasarkan produknya di negara tersebut.

Perusahaan nasional bisa jadi setali tiga uang, terutama bila ukurannya juga besar. Mengapa? Karena mereka juga menganut shareholder primacy, yang menekankan bahwa tujuan perusahaan adalah menghasilkan laba maksimal untuk pemilik modalnya. Akibatnya, walaupun beroperasi di negeri sendiri, dampak negatif yang mereka tinggalkan juga kerap tak dikelola dengan benar.

Tentu, perusahaan multinasional maupun nasional bisa jadi tidak begitu, terutama mereka yang telah benar-benar menganut keberlanjutan sebagai prinsip operasinya. Namun, kecenderungan untuk melindungi kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan setempat akan membesar bila perusahaan merasa bahwa keberlanjutannya sendiri memang digantungkan pada kondisi setempat lantaran mereka tak punya pilihan untuk pergi meninggalkannya. Ini yang menjadikan perusahaan komunitas cenderung menjadi perusahaan yang berkelanjutan. Masyarakat yang sadar tentu tidak akan merusak dirinya sendiri.

Perusahaan sosial bisa dimiliki oleh perorangan, atau kelompok tertentu, yang belum tentu merupakan penduduk setempat. Yang membuat perusahaan komunitas menjadi khusus adalah bahwa pemiliknya adalah kumpulan warga. Dengan kepemilikan itu, maka sepenuhnya perusahaan komunitas mengacu pada tujuan kemaslahatan warga. Ketika perusahaan itu menghasilkan laba, sepenuhnya laba itu akan dimanfaatkan oleh warga setempat untuk memecahkan masalah mereka sendiri.

Mengikuti kepemilikan yang demikian, tata kelolanya juga diarahkan sepenuhnya oleh warga setempat. Kepentingan warga menjadi yang utama, kalau bukan satu-satunya yang dilayani oleh tata kelola. Walau mungkin tetap ada persoalan agensi—yaitu pengurus yang memanfaatkan mandat untuk kepentingan diri atau kelompoknya sendiri—namun mekanisme kontrolnya akan bisa menekan kecenderungan itu. Warga juga akan cenderung mengarahkan tata kelola menjadi pelayan keberlanjutan karena demikianlah kepentingan seluruh warga masyarakat.

Terakhir, penerima manfaat utama dari perusahaan komunitas adalah warga setempat juga. Walaupun ekspansi sangat dimungkinkan, kecenderungan yang terjadi adalah untuk menjadikan warga masyarakat lainnya sebagai penerima manfaat, yang menikmati hal yang sama dengan penerima manfaat asal. Dengan kecenderungan solidaritas antar-warga ini, maka apa yang menjadi produk, bagaimana karakteristik produknya, termasuk harganya akan dibuat benar-benar sesuai dengan kondisi masyarakat.

Demikianlah, perusahaan komunitas cenderung menjadi perwujudan paling sempurna dari demokrasi ekonomi. Dari warga (pemilik modal), oleh warga (penegak tata kelola), dan untuk warga (penerima manfaat) sepenuhnya bisa diwujudkan. Dan ini menjadikan perusahaan komunitas bukan saja berpotensi menjadi antidote bagi pertumbuhan ekonomi yang timpang, melainkan juga menjadi pengobat luka-luka sosial dan lingkungan yang selama ini menganga lantaran praktik korporasi. Perusahaan sosial maupun komersial yang ingin sepenuhnya membawa manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan optimal sangat perlu belajar dari dan bekerja sama dengan perusahaan komunitas.


Sumber:

Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 4 Agustus 2016

Penulis: Wahyu Aris Darmono dan Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)