Dalam menjalankan sebuah bisnis, pasar merupakan sebuah tempat penting bagi sahabat wirausaha. Hal ini tidak terlepas dari peran pasar sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli. Pada sisi lain, tujuan utama dari seorang pelaku usaha adalah untuk menjual barang kepada para pembeli. Kemampuan sahabat wirausaha untuk memaksimalkan pasar akan membantu bisnis dalam tujuan utamanya untuk menjual barang kepada konsumen.

Secara praktis, pasar sendiri memiliki definisi yang cukup luas. Seluruh tempat dimana sahabat wirausaha dapat menjual barangnya dapat disebut sebagai pasar. Pasar pada masa lalu selalu identik dengan pasar tradisional, tetapi pada era modern, hampir semua tempat dapat dijadikan sebagai tempat berjualan. Hal ini didukung dengan adanya teknologi yang memungkinkan sahabat wirausaha untuk berjualan dimana saja. Pada saat yang hal ini juga membuat hampir seluruh bagian masyarakat dapat menjadi pembeli. Dengan demikian, potensi untuk menjual barang kepada pembeli sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan sahabat wirausaha untuk melihat peluang pasar.

Apabila melihat peluang pasar domestik, sahabat wirausaha pasti tidak dapat memungkiri potensi berjualan di DKI Jakarta dan sekitarnya. Peran DKI Jakarta sebagai ibukota negara membuat nilai perputaran ekonomi di daerah tersebut cukup tinggi. Selain DKI Jakarta itu sendiri, sahabat wirausaha juga dapat melihat daerah sekitar dari DKI Jakarta seperti Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi atau yang sering disingkat dengan Jabodetabek. Area ini memiliki potensi pasar yang tinggi bagi sahabat wirausaha.


Latar Belakang Jabodetabek

Proses terbentuknya daerah Jabodetabek sebagai salah satu simpul utama perekonomian di Indonesia tidak terjadi secara tiba-tiba. Perencanaan terhadap lokasi tersebut telah dilakukan sejak beberapa tahun silam atau tepatnya pada tahu 1960-an. Hal ini dilakukan untuk mendukung wilayah DKI Jakarta sebagai wilayah ibukota.

Dikutip dari historia.id, tim perancangan Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menyelesaikan rancangan pembangunan wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya dan menyerahkan kepada Gubenur Soemarno. Akan tetapi, rancangan tersebut belum bisa diresimikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) karena kondisi yang tidak kondusif pada tahun 1965. Pengesahan terhadap rancangan tersebut baru dapat dilakukan pada tahu 1967 melalui Surat Keputusan No. 8/DPRD-GR/P/1967. Rencana Induk ini mencakup pembuatan 40 peta Jakarta pada waktu itu dan di masa yang akan datang untuk rentan waktu 20 tahun.

Pada periode tersebut, gubenur Jakarta sudah berganti menjadi Ali Sadikin. Beliau kemudian melakukan sosialisasi rancangan tersebut kepada menteri dalam negeri dan gubenur se-Jawa pada bulan Mei 1967. Hal ini dilandasi oleh kesadaran dari Gubenur Ali Sadikin bahwa pembangunan wilayah Jakarta tidak bisa dilakukan seorang diri. Jakarta akan butuh dukungan dari daerah di sekitarnya. Pernyataan berkaitan dengan ini dikutip pada koran Djaja terbitan 13 Mei 1967 dengan judul “Approach Gubenur Ali Sadikin mengenai Kemungkinan Perluasan Wilayah”.

Pada tahun 1973, isu mengenai pertumbuhan baru wilayah di sekitar DKI Jakarta. Hal ini tertuang pada laporan berjudul Jabotabek: a Planning Approach of its Absorption Capacity for New Settlements within the Jakarta Metropolitan Region. Laporan tersebut terdiri dari proyeksi pertumbuhan jumlah penduduk Jabotabek dari tahun 1973 hingga 2000. Selain itu, lapora itu memetakan industry dan pembangunan infrastruktur pendukung. Laporan ini yang kemudian digunakan sebagai landasan untuk menggali lebih dalam konsep Jabotabek oleh pemerintah daerah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Puncaknya, pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 151 tahun 1975 tentang perubahan dan pembulatan batas wilayah DKI Jakarta.

Dengan keluarnya SK tersebut, pemerintah DKI Jakarta kemudian menyiapkan rencana jangka panjang untuk pengembangan Jabotabek. Dalam buku terbitannya (Gita JayaI) pengembangan Jabotabek sendiri akan melalui tiga tahap.

Tahap pertama dalam rancangan tersebut adalah pengembangan Tangerang, Depok dan Bekasi sebagai permukiman dan industry yang dicanangkan pada tahun 1975-1980. Beberapa fasilitas pendukung yang juga dibangun adalah listrik, sekolah, jalan raya hingga pasar.

Tahap kedua adalah pengembangan daerah industry di Cibinong, Bogor, Tangerang dan Cikarang pada tahun 1980-1990. Pada tahap ini juga terdapat peningkatan daya tampung permukiman hijau dengan kapasitas 250 ribu jiwa di setiap daerah tersebut. Sedangkan sarana pendukung yang dibangun pada tahap ini adalah jalan lingkar luar Jakarta serta peningkatan jalur rel tunggal kereta api Depok-Bogor yang menjadi rel ganda.

Terakhir, tahap ketiga pada tahun 1990-2000, rancangan tersebut menguslkan adanya peningkatan daya tampung penduduk sebesar 500 ribu jiwa di daerah Bogor, 250 ribu jiwa di Tangerang dan 400 ribu jiwa di Cikarang. Tahap ini juga mencakup pengembangan Ciputat, Ciledug, Cileungsi dan Cibinong untuk menjadi pemukiman. Selain itu, terdapat pula pengembangan wilayah industry di selatan Tangerang, jalan Cibinong-Bogor, dan sebelah timur Cikarang.

Konsep pembangunan ini yang terus berkembang hingga saat ini dimana wilayah Jabodetabek telah menjadi daerah pendukung DKI Jakarta yang vital. Jabodetabek menjadi vital karena perannya sebagai ibukota dan wilayah penyangga ibukota. Tidak hanya itu, di Indonesia peran ibukota juga mencakup peran sebagai pusat bisnis dan pusat pendidikan. Hal ini yang kemudian membuat Jabodetabek dapat menjadi daerah dengan peluang pasar yang tinggi.


Melihat daya beli Jabodetabek

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Jabodetabek memiliki potensi yang sangat besar dalam menjadi pasar bagi sahabat wirausaha. Hal ini dikarenakan peran Jabodetabek sebagai ibukota dan wilayah penyangga ibukota yang tidak dapat terhindarkan. Peran ini menjadi semakin vital apabila melihat peran DKI Jakarta yang bukanya hanya ibukota pemerintahan tetapi juga pusat ekonomi, pendidikan dan pembangunan.

Grafik 1. Populasi Jabodetabek dan Indonesia

Sumber: BPS, diolah Kembali (2021)

Salah satu bukti pentingnya peran daerah Jabodetabek adalah besarnya populasi yang ada. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah populasi di Jabodetabek pada tahun 2018 mencapai 19 mencapai 33,88 juta penduduk. Angka ini bertambah pada tahun 2019 menjadi 34,59 juta penduduk. Angka itu kemudian menurun menjadi 33,73 juta penduduk pada tahun 2020. Angka ini secara konsisten merupakan 13% persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan pada sisi yang lain, luas tanah di daerah Jabodetabek hanyalah mencakup 6.437,89km2 atau hanya sekitar 0,34% dari luas wilayah Indonesia. Dengan perbandingan yang cukup jauh diantara populasi daerah dan juga luas wilayah yang ada, tingkat kepadatan penduduk yang ada di daerah tersebut cukup tinggi.

Dalam menentukan potensi pasar dari suatu lokasi, populasi merupakan indikator awal. Semakin banyak penduduk dari suatu populasi, maka akan semakin tinggi calon konsumen potensial yang dapat dirangkul oleh sahabat wirausaha untuk membeli produk yang telah dihasilkan. Sebaliknya, luas wilayah merupakan sebuah biaya bagi kegiatan bisnis. Suatu wilayah yang memiliki kepadatan penduduk yang relatif rendah akan lebih mudah dan murah dalam hal biaya pemasaran dan distribusi. Dengan kodisi tersebut, Jabodetabek memiliki potensi yang besar sebagai sebuah target pasar bagi sahabat wirausaha.

Grafik 2. PDRB Daerah se-Indonesia

Sumber: BPS, diolah Kembali (2021)

Selain besaran populasi, potensi pasar juga dapat dilihat dari besaran pendapatan suatu daerah. Hal ini dikarenakan semakin tinggi pendapatan dari sutau daerah, maka semakin tinggi pula daya beli masyarakat di daerah tersebut. Pada grafik 2, terlihat distribusi Pendapatan Domestik Regional Bruto atau yang sering disingkat sebagai PDRB. Pada PDRB tersebut, terlihat bahwa rata-rata PDRB di daerah Jabodetabek yaitu sebesar 160.275 miliar rupiah, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan PDRB rata-rata Indonesia yang hanya berada pada kisaran 18.543 miliar rupiah.

Besarnya nilai PDRB ini juga terlihat dari setiap kabupaten kota yang ada di Jabodetabek. Daerah Jakarta Pusat sebagai daerah dengan PDRB tertinggi, sebagai contoh, memiliki pendapatan hingga mencapai 377.966 miliar rupiah. Sedangkan pada tempat kedua diduduki oleh daerah Jakarta Selatan dengan pendapatan mencapai 349.202 miliar rupiah. Apabila dilihat, hanya Surabaya saja daerah di luar Jabodetabek yang mampu berada pada peringkat 5 besar daerah dengan PDRB tertinggi. Sebaliknya, hanya daerah Kepulauan Seribu saja yang memiliki nilai PDRB lebih kecil dibandingkan PDRB rata-rata di Indonesia, yaitu 3.828 miliar rupiah berbanding dengan 18.543 miliar rupiah. Besarnya nilai PDRB ini menjadi gambaran bahwa daerah Jabodetabek tidak hanya memiliki jumlah populasi yang tinggi, tetapi juga memiliki daya beli yang besar.

Dengan jumlah penduduk dan pendapatan yang besar, Jabodetabek dapat dipastikan memiliki potensi pasar yang besar pula. Sahabat wirausaha akan mudah menjual produk-produk di lokasi tersebut karena kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa juga tinggi. Meskipun begitu, masih terdapat banyak faktor yang dapat digunakan untuk menganalisa lebih lanjut potensi pasar Jabodetabek. Akan tetapi, secara umum potensi daerah Jabodetabek sudah dapat disimpulkan dengan berbagai fakta dan data yang ditampilkan.


Melakukan riset sederhana tentang pasar Jabodetabek

Dalam melakukan riset pasar, sahabat wirausaha harus mampu melihat potensi dari sebuah produk. Beberapa metode yang kemudian dapat digunakan adalah metode kualitatif dan juga kuantitatif. Pada kesempatan kali ini, peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakna data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Dengan data yang tersedia tersebut, sahabat wirausaha dapat melihat sektor yang memiliki potensi yang cukup tinggi untuk dijadikan sebagai bisnis.

Grafik 3. Rata-Rata Pengeluaran Makanan per Minggu

Sumber: BPS, diolah Kembali (2021)

Dalam menggunakan metode kuantitatif kali ini, data yang akan digunakan adalah data pengeluaran makanan yang tersedia di BPS. Sahabat wirausaha dapat melihat bahwa sektor makanan jadi merupakan salah satu sektor yang potensial di Jabodetabek. Berdasarkan grafik 3, terlihat bahwa tingkat pengeluaran makanan jadi per minggu di daerah Jabodetabek jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nilai konsumsi makanan di seluruh Indonesia dengan perbandingan 76 ribu rupiah berbanding dengan 38 ribu rupiah. Secara umum, nilai konsumsi makanan jadi di setiap daerah di Jabodetabek lebih besar jika dibandingkan dengan konsumsi makanan jadi Indonesia. Hal ini menunjukkan potensi besar bagi sahabat wirausaha yang memiliki bisnis makanan untuk beroperasi di Jabodetabek.

Informasi ini juga dapat digunakan untuk menganalisa lebih lanjut pasar dari setiap kabupaten atau kota yang ada di Jabodetabek. Berdasarkan data pada grafik 3, terlihat bahwa daerah Jakarta Pusat merupakan daerah dengan besaran konsumsi makanan jadi tertinggi, yaitu mencapai 98 ribu rupiah per minggu untuk setiap orang. Sedangkan daerah dengan konsumsi makanan jadi terendah di Jabodetabek adalah Kabupaten Bogor, yaitu sebesar 47 ribu rupiah. Nilai ini memberikan gambaran mengenai potensi konsumsi dari setiap daerah.

Grafik 4. Rata-Rata Pengeluaran Setiap Jenis Makanan per Minggu

Sumber: BPS, diolah Kembali (2021)

Selain melihat daerah dengan potensi konsumsi, sahabat wirausaha juga dapat mengambil data jenis makanan dan tingkat konsumsinya. Berdasarkan grafik 4, sahabat wirausaha dapat melihat bahwa konsumsi nasi campur/ rames merupakan produk dengan tingkat pengeluaran tertinggi. Setiap minggunya setidaknya setiap individu mengeluarkan 11 ribu rupiah untuk membeli makanan jadi dalam jenis nasi campur/ rames. Produk yang juga memiliki daya tarik adalah mie dan bakso, bubur ayam serta nasi goreng dengan tingkat konsumsi rata-rata 6,6 ribu, 3,9 ribu, dan 3,4 ribu rupiah secara berturu-turut. Data ini menunjukkan potensi produk yang dapat dijual oleh sahabat wirausaha.

Sahabat wirausaha juga dapat melihat potensi penjualan produk minuman pada grafik tersebut. Berdasarkan data yang ada, pengeluaran terbesar untuk minuman jadi adalah air galon kemasan dengan nilai 4,2 ribu setiap minggu. Setelah itu, produk minuman jadi seperti kopi, teh, coklat dan banyak lainnya berada di posisi kedua dengan rata-rata konsumsi per kapita sebesar 2,8 ribu per minggu.

Dengan data yang sama, sahabat wirausaha juga dapat melihat produk dengan konsumsi terendah. Berdasarkan data tersebut produk dengan tingkat pengeluaran terendah adalah minuman keras dengan nominal rata-rata konsumsi 27 rupiah. Hal ini dikarenakan konsumsi minuman keras sangat dibatasi. Selain itu produk dengan tingkat konsumsi yang juga cukup rendah adalah mie instan dan air the kemasan dan minuman bersoda yang konsumsinya hanya sebesar 649 dan 788 rupiah per minggu per individu. Produk-produk tersebut merupakan jenis produk yang memiliki pasar yang kurang besar jika dibandingkan makanan jadi lainnya. Hal ini juga didukung dari kompetitor produsen produk-produk tersebut yang bisa dikatakan sudah cukup besar seperti Indofood dan Coca Cola.

Data yang sudah ada tersebut dapat kemudian digunakan untuk menghitung market share. Sahabat wirausaha dapat mengalikan konsumsi per kapita tersebut dengan jumlah penduduk. Sebagai contoh, apabila sahabat wirausaha ingin menjalankan usaha bubur ayam, maka sahabat wirausaha dapat mengalikan konsumsi per kapita sebesar 3,9 ribu per minggu dengan jumlah populasi jabodetabek sebesar 33 juta orang. Dengan demikian pangsa pasar dari penjualan bubur ayam di Jabodetabek adalah sebesar 129 miliar rupiah per minggunya. Selanjutnya, sahabat wirausaha dapat menargetkan berapa persen pangsa pasar yang akan digarap. Metode ini juga dapat digunakan pada jenis produk lainnya.

Dengan semua data yang ada, dapat terlihat bahwa Jabodetabek merupakan sebuah daerah dengan peluang pasar yang sangat besar. Sahabat wirausaha dapat menggunakan informasi tersebut untuk kemudian mengembangkan produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen.

Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.