Masyarakat mengenal koperasi biasanya dari dua model, yakni koperasi simpan pinjam (KSP) dan koperasi unit desa (KUD).

Model koperasi pertama berkembang massif, di mana hampir 80 persen koperasi di Indonesia adalah KSP atau menyelenggarakan unit simpan pinjam (USP). Yang kedua, KUD, massif sejak 1978 sebagai instrumen swasembada pangan era Orde Baru.

Yang pertama berkembang massif selaras dengan liberalisasi pasar dan yang kedua mulai rontok saat deregulasi pasar diberlakukan.

Ibnoe Soedjono, Dirjen Koperasi era Orde Baru, mencatat, "Selama 20 tahun terakhir, KUD telah dikembangkan dan dibiarkan berkembang sebagai organisasi yang salah. Karena itu, investasi negara yang jumlahnya triliunan rupiah menjadi pemborosan, tidak meningkatkan kesejahteraan petani dan tidak memperkuat KUD. Justru sebaliknya, hanya dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang ada dan dalam posisi ikut ambil keputusan-keputusan."

Sebagai mantan dirjen, Ibnoe Soedjono menginsyafi ternyata pola pengembangan KUD yang top down keliru. Over sympathy negara dengan gerojokan berbagai fasilitas sampai triliunan rupiah justru membuat KUD tak memiliki daya berdikari.

Mental ketergantungan telah merusak daya prakarsa dan kewirakoperasian para pengurusnya. Meski demikian, sampai saat ini paling tidak ada 9.437 KUD masih beroperasi di seluruh pelosok Tanah Air. Lantas, apa yang perlu dilakukan agar mereka adaptif terhadap perubahan zaman?

Core business KUD

Dalam beberapa serial Lokakarya Koperasi Perubahan yang diselenggarakan Kopkun Institute, ditemukan bahwa dari 80-an peserta, hanya tiga hingga lima KUD yang masih menyelenggarakan usaha penggilingan padi, distribusi pupuk atau sarana produksi padi atau pertanian (saprodi/saprotan).

Di beberapa tempat, rice milling unit (RMU) itu bahkan tak lagi mereka operasikan sendiri, tetapi disewakan ke beberapa pengepul.

Di sisi lain, core business atau usaha inti mereka sebagian besar berupa simpan pinjam, waserda atau toserba, sentra kulakan, peternakan, dan perdagangan umum lainnya.

Selain usaha inti, sebagian besar KUD memiliki usaha penunjang seperti layanan pembayaran rekening listrik, konter pulsa, layanan payment point online bank (PPOB), dan sebagainya.

Secara umum, core business KUD telah meninggalkan sektor pertanian. Tentu saja kondisi hari ini berbeda dari tahun 1970 hingga 1980-an di awal KUD berkembang.

Core business yang berubah itu erat kaitannya dengan basis keanggotaan yang berubah. Setelah kegagalan kredit usaha tani (KUT), yang secara nasional mencapai 8 triliun rupiah, banyak KUD yang basis anggotanya petani luluh lantak. Selain karena masalah gagal angsur (non-performing loan), sebagian juga telah meninggal dunia atau menua dan tak lagi produktif.

Di atas kertas, banyak KUD mempunyai anggota sampai ribuan orang. Namun, dari ribuan itu hanya ratusan yang masih aktif lakukan partisipasi ekonomi dalam bentuk modal dan transaksi.

Beberapa KUD skala menengah juga sebagian telah meninggalkan sektor pangan. Bisnis inti mereka seperti unit simpan pinjam (USP) yang melayani anggota dan juga masyarakat umum. Sebagian yang lain menyelenggarakan usaha ritel dalam bentuk toserba dan bahkan swalayan modern.

Ada juga KUD yang telah melakukan pemekaran (spin off) dengan memecah unit sektor riilnya dengan simpan pinjamnya menjadi sebuah KSP yang otonom. Dalam kasus spin off, KSP hasil pemecahan berkembang lebih cepat jauh meninggalkan capaian sektor riilnya.

Rekayasa ulang bukan revitalisasi

Saat ini pemerintah bekerja sama dengan berbagai pihak tengah mengembangkan program revitalisasi KUD. Tujuannya mengembalikan kejayaan KUD seperti dulu.

Berbagai program dibuat seperti penanaman singkong untuk produksi mocaf, badan usaha milik rakyat (BUMR), berbagai kegiatan bimbingan teknis (bimtek) serta kegiatan atau program lainnya.

Masalahnya, berbagai program itu mengandaikan KUD hari ini masih sama dengan KUD tempo dulu yang padahal sudah berbeda. Hal itu bisa dilihat dari tematik kegiatan yang berpusat pada isu pangan atau pertanian.

Tentu saja, sebagian KUD yang masih berbasis petani bisa menerima program itu dengan baik. Namun, bagi sebagian besar yang lain justru menjebaknya dalam irama poco-poco.

Alih-alih mengembalikan KUD ke cetak birunya seperti masa lalu, lebih realistis untuk membuat KUD adaptif di hari ini dan masa depan.

Artinya, suatu agenda yang mendorong maju KUD meski dengan konsekuensi KUD berubah bentuk sehingga pilihan yang lebih masuk akal adalah melakukan rekayasa ulang (reengineering) daripada revitalisasi.

Charles Darwin pernah bilang, "Bukan yang terkuat, terbesar, atau terpandai, melainkan yang adaptif terhadap perubahan yang dapat bertahan."

Rekayasa ulang KUD bertujuan membuatnya adaptif dengan konteks kontemporer. Tak lagi terjebak pada nostalgia masa lampau: sebagai anak emas Orde Baru, tetapi si akil balik yang harus bertanggung jawab atas nasibnya (self responsibility).

Koperasi Usaha Daerah

Ada satu kisah menarik yang muncul di Lokakarya Koperasi Perubahan Angkatan Kedua, Juli 2017. Satu KUD di Kabupaten Tegal mengatakan telah melakukan perubahan anggaran dasar (PAD) sebanyak sembilan kali. Yang terkini adalah melakukan perubahan nama dari koperasi unit desa menjadi koperasi usaha daerah dengan singkatan sama, KUD.

Ini contoh bagus bagaimana pengurus mencoba mengembangkan kapasitas kelembagaan agar area kerjanya lebih luas. Menariknya, KUD Kab. Tegal itulah satu-satunya peserta lokakarya yang telah memiliki rencana strategis (renstra) di antara puluhan peserta lainnya.

KUD sebagai koperasi unit desa dimaklumatkan beroperasi di dua area kecamatan. Dengan mengubahnya menjadi koperasi usaha daerah, KUD dapat beroperasi di seluruh wilayah kabupaten.

Perubahan seperti itu tentu saja membuat KUD beroperasi dalam sistem pasar yang lebih luas. Konsekuensinya, keanggotaannya bisa tersebar dimana saja seturut dengan perluasan unit layanan usahanya. Artinya koperasi usaha daerah itu memiliki skala sosio-ekonomi lebih luas daripada sebelumnya.

Rekayasa ulang suatu KUD bisa berangkat dari core business unggulannya. Sehingga, bisa saja KUD berubah sama sekali menjadi sebuah koperasi serba usaha (KSU) dengan menghilangkan nama "KUD" atau bahkan berubah menjadi koperasi simpan pinjam (KSP). Hal itu sah dilakukan selama anggota bersetuju dalam forum rapat anggota.

Pada mereka yang terbebani citra minor "KUD", rebranding bisa dilakukan untuk memperoleh daya ungkit. Misalnya saja KUD Daya Mandiri bisa berubah nama menjadi "Koperasi Daya Mandiri" dengan konsentrasi pada sektor ritel, kerajinan atau produksi non-pangan dan jenis lainnya. Upaya itu bisa mendorong masuknya anggota-anggota baru sebagai basis anggota yang bermasa depan.

Rekayasa ulang itu perlu dikerangkakan dalam perencanaan strategis (renstra) sehingga berbagai perubahan berjalan padu. Misalnya saja, banyak KUD yang mengalami degenerasi dengan anggota tua lebih banyak daripada yang muda. Alhasil, regenerasi kepengurusan tersendat.

Lewat rekayasa ulang itu, KUD didorong terbuka bagi semua orang dan semua lapisan umur. Dengan cara begitu masalah degenerasi dapat diselesaikan.

Nothing to lose

Bagi KUD-KUD yang tak lagi bergerak di sektor pertanian atau pangan, rekayasa ulang seharusnya dapat dilakukan tanpa beban (nothing to lose). Apa sebab? Karena sejatinya KUD sekadar bentuk, sedang apa yang esensial adalah spirit koperasinya.

KUD bisa berubah bentuk menjadi apa pun selama masih berwujud koperasi dengan visi menyejahterakan anggota dan memberi dampak sosial bagi masyarakat.

Sebaliknya dengan rekayasa ulang, koperasi akan peroleh vitalitas baru dengan daya ungkit lebih besar. Itulah koperasi perubahan yang memiliki kapabilitas dinamis (dynamic capability) sehingga selalu adaptif dengan zaman.

Di sisi lain, pemerintah dan pihak lain tak perlu lagi menyeret-nyeret KUD ke sektor pertanian atau pangan. Masih ada model lain seperti koperasi tani (koptan) yang jelas-jelas berbasis kelompok tani (poktan/gapoktan) yang lebih tepat untuk digandeng tangan.

Sularso, Dirjen Koperasi era Orde Baru, yang sampai sekarang masih aktif di gerakan koperasi dengan gemas menegaskan, "Koperasi bisa besar tanpa harus merepotkan pihak lain. Kebijakan pemerintah hanya menjadi variabel eksternal, namun berhasil-gagalnya kembali pada daya internal (inner power) koperasinya masing-masing. Dan koperasi yang baik tidak mengemis-emis bantuan negara."

Jadi, rekayasa ulang KUD bukan kebutuhan pemerintah sebagai variabel eksternal. Namun, kebutuhan KUD itu sendiri yang masih ingin hidup minimal 20 tahun yang akan datang.


Sumber:

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Merekayasa Ulang Koperasi Unit Desa", https://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/25/080400126/merekayasa-ulang-koperasi-unit-desa?page=4. 25 Juli 2017

Foto: (FIRDAUS PUTRA)

Penulis: Firdaus Putra, HC (Direktur Kopkun Institut, Peneliti LSP2I)

Editor: Laksono Hari Wiwoho