Produk-produk mebel dan kerajinan anggota Koperasi Industri Mebel dan Kerajinan Solo Raya (Kimkas) dipamerkan di Rumah Kriya Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Jumat (4/5/2018). Pemprov Jawa Tengah membuka Rumah Kriya Banjarsari, Solo, sebagai ruang pamer dan promosi produk mebel dan kerajinan yang akan dikelola oleh Kimkas.

Soal cara mengukur capaian koperasi, berbagai kalangan berdebat terkait dengan indikatornya. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) awal 2018 merilis peningkatan kontribusi koperasi terhadap produk domestik bruto. Tahun-tahun sebelumnya hanya pada kisaran 1,7 persen, lalu naik menjadi 4,48 persen atau setara dengan Rp 452 triliun.

Meskipun naik cukup signifikan, sebagian yang lain menganggap indikator produk domestik bruto (PDB) tak bisa dijadikan alat ukur untuk koperasi. Pasalnya, koperasi itu berbeda dibandingkan dengan perusahaan lain. Ukuran yang dianggap lebih pas untuk memotret koperasi, misalnya, dengan indikator PEARLS. Indikator komposit itu meliputi: perlindungan; struktur keuangan yang efektif; kualitas aset; tingkat pengembalian dan biaya operasional; likuiditas; dan tanda-tanda pertumbuhan.

Ada juga yang lebih setuju melihatnya dari segi rasio promosi ekonomi anggota (PEA), yakni suatu nilai efisiensi layanan koperasi dibandingkan dengan layanan dari perusahaan lain. Sebagai contoh, apabila seorang anggota membeli beras 1 kilogram di toko lain harganya Rp 10.000, sedangkan di koperasi Rp 9.500, maka selisih Rp 500 itu dianggap sebagai manfaat promosi tersebut. Lantas, bagaimana seyogianya kita mengukur capaian koperasi di republik ini, yang pada 12 Juli ini sudah berusia 71 tahun?

Kebijakan dan pengukuran

Sebelum kita mengukur capaiannya, kita harus memahami targetnya. Hal itu bisa diturunkan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Atau bisa juga dari Kebijakan Nasional Perkoperasian (KNP). Logisnya, KNP merupakan hasil sinkronisasi dari RPJMN.

Sayangnya, sampai saat ini kita belum memiliki KNP atau yang dalam istilah generiknya disebut sebagai National Cooperative Policy (NCP). Negara-negara lain memiliki NCP, yang dirumuskan secara bersama- sama antara pemerintah dan gerakan koperasi.

Sebagai contoh, yang terdekat adalah negeri jiran, Malaysia. Pada NCP Kedua Malaysia, yakni periode 2011-2020, secara tegas mereka menargetkan kontribusi koperasi terhadap PDB mencapai 10 persen pada 2020. Dari ancangan makro itu kemudian diturunkan ke berbagai sektor strategis koperasi dengan angkanya masing- masing. Di sana NCP dirumuskan secara tripartit: pemerintah, institut koperasi, dan organisasi gerakan koperasi.

NCP yang tunggal akan membuat gerakan koperasi dan pemerintah berjalan padu. Hal itu berbeda dengan kondisi Indonesia hari ini.

Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sebagai lembaga gerakan koperasi memiliki ancangan "2045 Koperasi sebagai Pilar Negara". Di sisi lain, Kementerian Koperasi dan UKM sedang melakukan "reformasi total koperasi", yang isinya tiga langkah strategis, yakni reorientasi, rehabilitasi, dan pengembangan. Ironis, bukan? Bagaimana mungkin dalam upaya menggerakkan koperasi masing-masing lembaga memiliki ancangan strategisnya sendiri-sendiri.

Dimensi koperasi

Lalu, soal ukuran mana yang sahih untuk digunakan, hemat saya semuanya sahih dan perlu digunakan bersamaan. Logikanya, ketiga ukuran tersebut merupakan cara pandang kita melihat dimensi-dimensi koperasi.

Ada tiga dimensi koperasi yang bisa kita sepakati bersama. Pertama, dimensi mikro organisasi, yakni melihat koperasi sebagai asosiasi individu (people based association, ICA, 1995). Mereka berasosiasi untuk memperoleh manfaat tertentu. Alatnya ialah rasio promosi ekonomi anggota. Menegasikan variabel ini akan membuat koperasi kehilangan raison d'etre-nya.

Kedua, dimensi meso-organisasi, yakni melihat koperasi sebagai sebuah perusahaan yang sama dengan lainnya. Kaidah-kaidah perusahaan harus digunakan secara lazim sebagaimana mestinya. Misalnya, berapa turn over-nya, nilai asetnya, return on investment, dan berbagai rasio lain. PEARLS yang digunakan gerakan koperasi kredit adalah contoh baik dalam hal ini.

Ketiga, dimensi makro-organisasi, yakni meletakkan koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi sebagaimana Pasal 33 UUD 1945. Indikator makro itu, misalnya, kontribusi terhadap PDB dan serapan tenaga kerja.

Makro ke mikro

Lantas, bagaimana kita merumuskan targetnya? Ada dua logika. Pertama, dari mikro ke makro. Artinya, kontribusi terhadap PDB dibaca hanya sebagai imbas aktivitas layanan koperasi kepada anggotanya. Atau yang kedua, dari makro ke mikro, yakni membuat target besarnya untuk kemudian diturunkan ke level berikutnya.

Dari dua cara itu, dari makro ke mikrolah yang hemat saya lebih berdaya dorong. Mengapa? Yang pertama, meskipun lebih tampak "koperasi banget", berangkat dari filosofi koperasi sebagai asosiasi individu, tetapi tidak mendorong perubahan secara masif. Alih-alih, yang pertama, hanya meletakkan entitas koperasi sebagai residu dari proses pembangunan ekonomi.

Sementara cara kedua membuat koperasi proaktif dalam proses pembangunan ekonomi di negeri ini. Tentu saja target makro itu akan memberi energi dorong pada gerakan koperasi untuk mencapainya. Toh, apabila kita capai target makro, yang meso dan mikro pun pasti tercapai.

Untuk memulai itu, gerakan koperasi dan pemerintah harus duduk bersama dan bersepakat dengan satu dokumen National Cooperative Policy lebih dulu. Hanya dengan begitu, ujung dan pangkalnya menjadi jelas dan tidak perlu lagi debat kusir. Tahun ini dan tahun mendatang adalah momen yang tepat untuk menyusunnya.


Sumber:

Artikel ini sudah pernah dimuat di Kompas Cetak, 12 Juli 2018

Penulis: Firdaus Putra, HC (Direktur Kopkun Institut, Peneliti LSP2I)

Foto: KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA