Ekonomi yang kita kenal sekarang kebanyakannya disandarkan pada proses yang tak ramah lingkungan. Bukan ekonomi hijau yang sirkular; melainkan ekonomi coklat yang mengikuti tahapan linear take – make – waste. Pengambilan sumberdaya alam yang destruktif, proses produksi yang eksploitatif, dan polusi yang eksesif hampir-hampir terjadi di seluruh sektor. Terlebih lagi di industri ekstraktif.

Karenanya, kebanyakan orang sangat sulit membayangkan bahwa industri ekstraktif seperti tambang bisa menjadi lebih baik. Bayangan tailing yang menumpuk terus atau bahkan meluber sangat mudah terpatri di kepala. Mungkinkan sebuah pertambangan berubah menjadi ekonomi sirkular, di mana tak ada sama sekali tailing yang perlu dibuang? Hanya dengan memecahkan masalah itu saja maka ekonomi sirkular bisa diwujudkan.

Secara teoretis, pengelolaan tailing dilakukan melalui tiga cara: membuat tailing dam yang semakin tinggi seiring dengan meningkatnya volume; menempatkannya pada lokasi tertentu yang semakin luas seiring dengan berjalannya aktivitas penambangan; atau memanfaatkannya menjadi bahan baku material konstruksi. Dua cara yang pertama akan menyisakan persoalan tumpukan tailing dengan berbagai dampak lingkungannya. Dan hanya cara yang terakhir ini saja yang benar-benar berpotensi bisa menyelesaikan sepenuhnya masalah tailing yang dihadapi banyak perusahaan tambang.

Yosep Purnama adalah seorang social intrapreneur yang bekerja di ANTAM, Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor. Sebagai manajer rekayasa, ia gelisah dengan tumpukan tailing, dan merasa memiliki ide menyelesaikan masalah itu dengan pemanfatan. Setelah sekian lama melakukan beragam uji coba, ia menemukan bahwa tailing bisa diubah menjadi beragam material konstruksi yang bukan saja solid, stabil, dan berdaya tahan lama, namun juga lolos dari seluruh uji toksisitas.

Sebagai material kontruksi yang memenuhi seluruh persyaratan lingkungan dan teknis, maka produk yang dihasilkan kemudian diberi nama yang sesuai, yaitu green fine aggregate (GFA). Dengan berhasilnya uji coba ini, maka tak ada lagi hambatan teknis bagi ANTAM—juga bagi perusahaan tambang lainnya—untuk membuat pertambangan nirlimbah. Dan, dengan kemungkinan nirlimbah, tentu saja pertambangan menjadi sangat meningkat kinerja lingkungannya.

Dalam proses uji coba yang skalanya hanya sekitar 10% saja dari seluruh tailing yang dihasilkan per hari, Yosep berhasil membuat dampak sosialnya benar-benar sudah dirasakan oleh masyarakat Pongkor. Pertama-tama, dampak ketenagakerjaan. Pongkor—dan tambang manapun—adalah sebuah magnet ekonomi yang menarik banyak orang untuk datang, terutama untuk terlibat dalam penambangan emas artisanal dan ekonomi turunannya. Lantaran yang dilakukan oleh mereka itu tidak sesuai dengan ketentuan hukum, maka berulang kali aparat pemerintah menertibkannya. Tentu saja, setiap penertiban menimbulkan krisis ketenagakerjaan, ekonomi, dan sosial.

Namun, dengan pilot project pemanfaatan limbah ini, sebagian dari masalah tersebut bisa diselesaikan. Lebih dari 140 mantan penambang artisanal kini bekerja di pabrik pengolahan tailing. Ini mengubah status kerja mereka yang tadinya ada di dalam sektor ekonomi ilegal menjadi legal. Selain menjadi sumber pendapatan yang dapat diandalkan, pekerjaan baru ini menghindarkan mereka dari risiko besar yang terkait dengan keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja yang selama ini menghantui penambang artisanal.


Kedua, dengan seluruh hasil dari material konstruksi disalurkan untuk program sosial ANTAM, maka beragam fasilitas umum di sekitar lokasi pertambangan mendapatkan manfaat yang besar. Selain itu, rumah penduduk yang berasal dari golongan tak mampu juga mendapatkan bantuan. Lantaran biaya produksi sangat rendah dan kelompok masyarakat rentan dapat mengaksesnya, maka konstruksi tiba-tiba menjadi jauh lebih murah.

Apa yang dilakukan Yosep di ANTAM membuktikan bahwa ekonomi sirkular yang nirlimbah sangat mungkin dilakukan di pertambangan. Percobaan-percobaan terus dilakukan oleh Yosep untuk limbah-limbah industri lainnya dengan hasil yang juga menjanjikan. Tampaknya membuat seluruh industri tunduk pada ekonomi sirkular tidaklah mustahil. Hanya membutuhkan seorang social intrapreneur yang persisten untuk mewujudkannya.


Sumber:

Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 26 Mei 2016

Penulis: Jalal dan Wahyu Aris Darmono (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)