Sumber gambar : Unsplash

Di bulan Januari 2020, World Economic Forum melaporkan bahwa produksi industri fesyen di tahun tersebut membesar hingga dua kali lipat dibandingkan tahun 2010. Sayangnya, kenaikan angka produksi ini ternyata tidak dibarengi dengan peningkatan usaha industri fesyen untuk mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan. Masalah baru justru muncul, sebab hampir 85% produk fesyen terbuat dari bahan yang tidak dapat didaur ulang sehingga berkontribusi pada meningkatnya emisi karbon dunia. Hingga 2020, industri fesyen diperkirakan menyumbang sekitar 10% emisi karbon dunia.

Di masa kini, segelintir pelaku industri fesyen dunia mulai paham akan bahaya industri manufaktur terhadap lingkungan dan bumi di masa depan. Karena itulah belakangan banyak digembar-gemborkan tentang tren fesyen berkelanjutan, alias sustainable fashion. Tren ini diharapkan mampu meluas dan mencegah kerusakan lingkungan yang disebabkan industri fesyen sebelum terlambat. Indonesia pun tak ketinggalan, beberapa desainer dan artisan batik mulai merapat ke industri fesyen berkelanjutan. Namun, mengapa sertifikasi yang jelas di bidang fesyen ini masih belum juga diterbitkan?

Mengenal Konsep Fesyen Berkelanjutan

Tren fesyen berkelanjutan merupakan sebuah gerakan sosial yang menuntut pengusaha tekstil dan fesyen untuk lebih beretika dalam menjalankan industrinya, dengan menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan. Fesyen berkelanjutan, yang juga disebut sustainable fashion, memberi perhatian lebih pada nasib lingkungan dan masyarakat dibanding sekadar mengejar cuan. Konsep sustainability ini banyak diinisiasi oleh pihak-pihak produsen yang memang peduli terhadap keberlangsungan dan keseimbangan 3 aspek dalam suatu bisnis : ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Baca Juga : Lima UKM Yang Sukses Membangun Sustainable Business

Seberapa penting penerapan sustainable fashion?

Di tahun 2017, penelitian yang dilakukan Ellen McArthur Foundation menunjukkan bahwa jangka waktu pemakaian baju sebelum dibuang, turun hingga 36% selama 15 tahun terakhir. Artinya, orang-orang pada umumnya sering membuang baju dari sebelumnya. Di Amerika Serikat saja, rata-rata sebuah pakaian hanya sempat dikenakan 40 kali sebelum akhirnya dibuang[1]. Data dari lembaga yang sama juga menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat dunia membuang sekitar 12 hingga 14 ton sampah tekstil setiap detiknya. Tentu bisa dibayangkan, seberapa merusak limbah tekstil bagi lingkungan dan bumi kita.

Belum lagi, tren fesyen beberapa tahun belakangan lebih mengutamakan penggunaan bahan kain sintetis, seperti polyester dan nilon. Dikutip dari The Guardian, bahan-bahan ini ternyata dapat menghasilkan microfiber ketika dibilas menggunakan air dalam proses produksinya. Dari proses pembilasan, limbah ini akan berakhir di laut dan secara langsung bisa mengancam biota laut[2]. Bahan-bahan kain sintetis juga tidak bisa terurai secara alami di tanah. Akibatnya, mereka akan tetap utuh hingga ratusan tahun setelah pemakaiannya selesai, kecuali jika berakhir di pembakaran yang dengan sendirinya menyumbang polusi lingkungan.

Baca Juga : Iqleem, Gerakan Sustainable Fashion Untuk Para Wanita Muslim

Praktik fast fashion, alias fesyen cepat yang masih populer hingga kini, menimbulkan dampak yang buruk bagi lingkungan dan sosial masyarakat. Dampak sosial yang dimaksud merujuk pada para pekerja tekstil yang berisiko tinggi terkena masalah kesehatan serius akibat penggunaan bahan kimia berbahaya. Para pekerja ini juga berisiko terimbas dampak dari jam kerja yang berlebihan, kecelakaan kerja, dan pembayaran upah yang lebih kecil dibandingkan standar minimum yang sah. Dampak lingkungan tentu bisa datang dari penggunaan bahan kimia berbahaya yang limbahnya mencemari alam. Dalam jumlah besar, residu yang dihasilkan juga bisa berkontribusi pada peningkatan karbondioksida di udara.

Sustainable fashion, yang mengusung konsep fesyen lambat –dalam proses pengolahan dan pewarnaan—belakangan digembar-gembor mampu meminimalisir ancaman tren fast fashion yang kian merajalela.

Menunggu Matangnya Sertifikasi Resmi

Rini Sancaya, founder dari brand artisan Kanawida dan Kanagoods Natural Tye Dye, adalah salah satu pegiat fesyen berkelanjutan di Indonesia. Ia memiliki tekad untuk memajukan industri fesyen dari budaya lokal dengan konsep dan desain yang kekinian. Target pasarnya adalah anak-anak muda, dan pengerjaan produk dilakukan dengan membatik. Rini dan timnya menggunakan bahan serat kain dan pewarna yang alami, tanpa penguat maupun pengawet sintetis. Konsep yang diusung adalah slow fashion, di mana pengerjaan batiknya memakan waktu lima hari hingga satu minggu dan cenderung tidak terpengaruh oleh tren. Meski begitu, ia menjamin bahwa produknya memiliki usia lebih panjang dan saat warnanya pudar, bisa dibawa untuk diwarnai kembali sehingga tidak perlu dibuang.

Baca Juga : Ragam Bentuk Pelestarian Lingkungan Untuk UMKM

Sebagai salah satu dari sedikit pegiat sustainable fesyen, Rini tentu ingin pegiat UKM lainnya yang berani mengusung konsep ini bisa terus tumbuh, bertahan, dan berkembang. Meski begitu, di Indonesia masih terdapat banyak hambatan bagi fesyen berkelanjutan untuk berkembang. Salah satunya adalah masalah sertifikasi dan pengakuan resmi pemerintah akan industri fesyen berbahan dasar alami seperti miliknya.

Sejak 2010, Rini sudah bertanya kesana kemari perihal sertifikasi khusus untuk industri tye dye, alias pewarnaan alami, dan ternyata belum ada. Satu-satunya jawaban yang ia peroleh soal ini, adalah bahwa sertifikasi natural dye hanya ada di Jepang, atau paling dekat Singapura. Itu pun, ongkosnya masih kelewat mahal. “Di Indonesia, belum ada, meskipun sudah mencoba berkomunikasi dengan beberapa departemen tapi sampai sekarang memang belum ada solusi pas untuk kami,” tuturnya.

Rini, dan pegiat usaha natural tye dye lainnya, tentu sangat menunggu perhatian pemerintah soal ini, agar bisa melangkah lebih jauh, terutama soal ekspor. Karena walaupun tidak ada pakem atau standarisasi warna yang tetap pada produk natural dye, namun dengan adanya sertfikasi, produk mereka bisa mendapat pengakuan bahwa memang benar bahannya dari pewarna alami di Indonesia.

Baca Juga : Langkah Mudah Jadikan Bisnis Restoran lebih Ramah Lingkungan

Pendapat Rini cukup masuk akal, mengingat sertifikasi untuk pewarnaan alami dari kulit buah dan tanaman memang belum ada hingga sekarang. Padahal, dilansir dari website resmi Badan Standardisasi Nasional (BPN), saat ini sudah banyak skema sertifikasi sustainability lintas batas di berbagai sektor bisnis.Untuk sektor kehutanan, ada Forest Stewardship Council (FSC), untuk sektor kelautan ada Marine Stewardship Council (MSC), dan untuk industri perkebunan kelapa sawit ada Round Table Palm Oil (RTPO) serta International Sustainablity and Carbon Certification (ISCC)[3]. Semua sertifikasi ini dibuat tentu untuk memastikan agar dalam proses kerjanya, industri-industri manufaktur yang disebutkan tidak mencederai lingkungan.

Adanya sertifikasi juga bisa menambah keyakinan pembeli bahwa produk yang kita hasilkan memang tidak berdampak buruk pada kelestarian alam.Seringkali, hal ini juga menguatkan “nilai tawar” pelaku bisnis kepada konsumen atau pemborong yang ingin membeli produk mereka atau mengajak bekerja sama. Sertifikasi, menurut Rini, sangat diperlukan UMKM daluntukam mengembangkan bisnisnya. Apalagi, saat ini industri fashion memang sedang mengarah ke pengolahan bahan keberlanjutan, bahan alami.

Baca Juga : Kanagoods, Melangkah Dengan Produk Fashion Berkelanjutan

Untuk industri lain, terutama kayu dan hasil tani atau kebun, memang sudah banyak sertfikasi. Hal ini diakui oleh Rumondang Agnesia Doloksaribu, General Manager PT. Homeware Internasional Indonesia, yang fokus di industri kerajinan lokal, seperti anyaman rotan, serat eceng gondok, dan kerajinan kayu. Menurutnya, saat menawarkan produk kepada pemborong di luar negeri, perusahaannya harus memiliki banyak sertifikasi. Mulai dari sertifikasi yang menyatakan keberlanjutan produk terhadap lingkungan, keselamatan tenaga kerja, hingga kelayakan produk. Namun, kendalanya, di dunia fesyen dan industri tekstil sertifikasi seperti ini justru belum ada.

Selain Kanagoods, ada juga Asia Pacific Rayon, perusahaan tekstil lain yang juga bergerak di bidang sustainable fashion dengan memanfaatkan serat rayon viscose biodegradable (dapat terdegradasi secara alami) sebagai bahan baku. Dilansir dari website resmi perusahaannya, untuk mendapatkan sertifikasi terkait proses kerja dan bahan alami yang ramah lingkungan, mereka harus datang ke lembaga-lembaga yang berasal dari luar negeri. Misalnya, sertifikat yang menyatakan bahwa serat rayon viscose yang mereka produksi terbuat dari 100% bahan alami dan mampu terurai kembali menjadi kompos, dikeluarkan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA).

Baca Juga : Beberapa Skema Transformasi Untuk Menjadi Bisnis yang Lebih Bertanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Sementara untuk menjamin pelanggan bahwa serat mereka diproduksi melalui proses berkelanjutan yang ramah lingkungan, Asia Pacific Rayon meraih sertifikasi dari OEKO-TEX, yang berbasis di negara Swiss. Terakhir, sebagai bukti akan proses kerja mereka yang melibatkan semua bahan bersifat biodegradable,sertifikasi TUV OK-Biodegradable dikeluarkan oleh lembaga yang berbasis di negara Austria. Sementara biaya sertifikasi ke lembaga-lembaga luar negeri tersebut tentu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Lalu, kapankah Indonesia mampu memiliki sertifikasi sendiri untuk bahan-bahan tekstil yang memang menggunakan serat dan pewarna alami? Dan untuk menjamin pelanggan bahwa tekstil-tekstil yang dihasilkan industri fesyen berkelanjutan memang ramah lingkungan? Tentunya, Rini dan pegiat industri lainnya mengharapkan hal ini bisa lekas terlaksana. Sebab, perkembangan industri kecil dan menengah yang merintis sustainable fashion juga perlu dukungan untuk berkembang.

Baca Juga : Homeware International Indonesia, Merambah Pasar Ekspor Lewat Kerajinan Berprinsip Sustainability


Referensi:

Webinar bertajuk “Bisnis Produk Dari Bahan Alami dan Budaya Lokal”, yang bisa diakses melalui link berikut : https://www.topkarir.com/article/detail/webinar-bisnis-produk-dari-bahan-alam-dan-budaya-lokal

https://bsn.go.id/main/berita/berita_det/7205/-

https://digilib.uns.ac.id/dokumen/abstrak/80728/Kajian-Sustainable-Fashion-Sebagai-Aspek-Dalam-Pembangunan-Berkelanjutan-dan-Sebagai-Solusi-Untuk-Meminimalisir-Dampak-Fast-Fashion

https://pressrelease.kontan.co.id/release/tingkatkan-kesadaran-desain-berkelanjutan-kemenperin-gelar-kompetisi-fesyen-dan-kerajinan-ifca-2020?page=all

https://www.aprayon.com/ID/company/our-milestones/

https://kumparan.com/kumparanwoman/dukung-fesyen-berkelanjutan-apr-kembali-hadir-di-muffest-2020-1surFGMpXo1