Kalau ekonomi diibaratkan sebagai donat, dengan garis luarnya adalah batas-batas alam dan garis dalamnya adalah dasar-dasar sosial, maka seperti apakah dunia kita sekarang? Kate Raworth, ekonom dari Universitas Cambridge, tahun ini melejit popularitasnya gegara penjelasannya soal itu di buku Doughnut Economics (2017).

Meminjam dan meluaskan analisis dari Johan Rockstrom dan kawan-kawannya tentang planetary boundaries, Raworth menunjukkan bahwa batas-batas alam itu ada sembilan, mulai dari perubahan iklim, asidifikasi lautan, polusi bahan kimiawi, kandungan nitrogen dan fosfor, pengambilan air tawar, konversi lahan, kehilangan keanekaragaman hayati, polusi udara dan deplesi ozon.

photo_artikel_1.jpg

Dua dari sembilan batas itu, yaitu polusi bahan kimiawi dan udara, belum diketahui apakah masih ada di batas aman atau sudah terlampaui. Sementara, batas-batas perubahan iklim, kandungan nitrogen dan fosfor, konversi lahan dan kehilangan keanekaragaman hayati jelas telah melampaui batas. Itulah empat permasalahan lingkungan utama yang dihadapi oleh seluruh umat manusia.

Sementara, ada dasar-dasar sosial bagi kehidupan manusia yang layak, mulai dari air, pangan, kesehatan, pendidikan, kerja dan penghasilan, perdamaian dan keadilan, hak-hak politik, kesetaraan sosial, keadilan gender, perumahan, jejaring, dan energi. Kabar buruknya, secara rerata global tak ada satupun kebutuhan dasar itu yang telah terpenuhi. Pekerjaan rumah bidang sosial masih besar, terutama yang menyangkut kesehatan, perdamaian dan keadilan, hak-hak politik, keadilan gender, dan jejaring.

Kalau kita kemudian memeriksa apa yang dilakukan oleh berbagai bisnis sosial di seluruh dunia, maka fakta yang sangat menarik akan kita dapati. Sebagian besar bisnis sosial bekerja untuk menemukan solusi pasar atas berbagai masalah yang paling pelik itu! Alih-alih mencari low hanging fruits yang banyak dilakukan oleh bisnis komersial, bisnis sosial malahan cenderung mencari tantangan terberat.

Banyak orang bertanya mengapa banyak bisnis sosial masuk ke dalam pertanian berkelanjutan, terutama pertanian organik. Kalau kita memahami data yang diajukan oleh Rockstrom dan dibuat modelnya oleh Raworth itu, jawabannya sangat jelas: Bumi kita telah terlampaui batasnya dalam kandungan nitrogen dan fosfor. Apa penyebabnya? Salah satu yang terpenting adalah pertanian ‘modern’ yang banyak menggunakan pupuk dengan kandungan keduanya.

Tentu saja, cara pertanian seperti sekarang harus diubah apabila kita ingin Bumi bisa kembali ke dalam kondisi yang sehat. Dan pertanian organik, yang tidak terus-terusan menambah nitrogen dan fosfor lantaran menggunakan pupuk alami adalah jawabannya. Karenanya, ketika misalnya ada pernyataan bahwa manfaat kesehatan bagi tubuh manusia tidaklah sebesar yang diperkirakan, bisnis sosial terus melakukan ekspansi pertanian organik. Ini terutama memang masalah kesehatan Bumi, tempat kita semua tinggal.

Kalau sekarang juga sangat tampak banyak bisnis sosial yang masuk ke dalam penyediaan energi terbarukan, ini juga disandarkan pada pemahaman bahwa kegentingan kita terkait perubahan iklim adalah di antaranya lantaran kita terus-menerus menggunakan energi fosil. Kalau kita hendak mengamankan dunia dari kenaikan suhu di atas dua derajat Celsius yang bakal membahayakan generasi mendatang, maka energi fosil harus segera ditinggalkan.

Sama dengan gerakan pertanian organik yang kerap mendapat tantangan dari mereka yang ingin melestarikan pertanian tidak berkelanjutan, bisnis sosial penyediaan energi terbarukan juga berhadapan dengan mereka yang ingin melestarikan dominasi energi fosil. Tetapi, kemenangan energi terbarukan sekarang sudah terlihat di mana-mana. Kebanyakan negara melaporkan peningkatan pemanfaatan energi terbarukan, dan harga energi yang bersih ini terus turun, menjadikannya pilihan yang semakin ekonomis.

Masih banyak persoalan-persoalan pelik di dunia ini. Tetapi, setiap kali kita melihat siapa yang bekerja menyelesaikannya lewat mekanisme pasar, di situ kita akan temukan jejak-jejak bisnis sosial. Karenanya, tidak mengherankan kalau dalam usia yang relatif muda, secara keseluruhan bisnis sosial dinyatakan oleh para pakar sebagai yang sumbangannya nomor dua paling tinggi, di bawah lembaga swadaya masyarakat. Temuan itu dimuat di survei global terkemuka The 2017 Sustainability Leaders: Year 20. Dan kami percaya, di masa mendatang peran bisnis sosial dalam memecahkan masalah pelik yang dihadapi masyarakat akan semakin mengemuka.


Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 6 Juli 2017.

Penulis: Jalal dan Wahyu Aris Darmono (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)