Sahabat Wirausaha, apakah pernah berpikir untuk mendirikan bisnis berkelanjutan yang ramah lingkungan? Jika masih bingung mungkin Sahabat Wirausaha membutuhkan inspirasi atau bacaan sebelum terjun langsung. Kita bisa mengawalinya dengan meniru apa yang dilakukan Pijak Bumi dengan bisnis sepatu ramah lingkungan serta Penyedia Jasa Pengolahan limbah Organik, PT Maggot Indonesia Bersih. Berikut ulasannya.


Apa Itu Bisnis Berkelanjutan?

Bisnis berkelanjutan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan dagang tanpa mengorbankan pilar penting lainnya seperti lingkungan, dan sosial. Beberapa cara yang kerap dilakukan pebisnis yang bergerak di sektor ini seperti mengurangi limbah, berinvestasi dalam energi terbarukan, sampai mendukung perusahaan menuju masa depan yang lebih baik lagi. Sampai saat ini, bisnis berkelanjutan masih terus diperbincangkan hampir semua kalangan terutama dalam isu perubahan iklim akibat kegiatan gejolak dunia industri. Ditambah adanya pandemi Covid-19 yang membuat bisnis berkelanjutan menjadi penting bagi keberlangsungan makhluk hidup. Dibuktikan ketika 62% responden industri menyatakan bisnis keberlanjutan bakal membuat persaingan semakin ketat. Sedangkan 22% menjawab bisnis keberlanjutan baru akan menjadi isu penting dalam beberapa waktu ke depan.

Baca Juga: Zie Batik Semarang : Semangat Berkelanjutan Melestarikan Batik Khas Semarang


Contoh Bisnis Berkelanjutan di Indonesia

Gejolak bisnis berkelanjutan di Indonesia berdenyut kencang sejak beberapa tahun terakhir. Beberapa pebisnis yang terlibat langsung seperti Pijak Bumi yang bergerak dalam bisnis sepatu ramah lingkungan dan satu lagi penyedia jasa pengolahan limbah organik, PT Maggot Indonesia Bersih. Berikut cerita singkatnya.

1. Pijak Bumi

Memulai bisnis di tahun 2016, Pijak Bumi mengawali usaha tanpa pernah berpikir untuk mendirikan bisnis ramah lingkungan. Awalnya, Pijak Bumi mengedepankan pembuatan sepatu berbahan kulit sapi samak nabati. Dimana dalam proses pewarnaan, penyamakan kulit menggunakan tanin tumbuhan, bukan pewarna chromium. Seiring berjalannya waktu, ternyata penggunaan material kulit nabati juga bukan solusi ramah lingkungan. Salah satunya karena masih menggunakan zat berbahaya. Penyamakan kulit nabati juga membutuhkan begitu banyak air.

Padahal, di belahan wilayah Indonesia lainnya, masyarakat masih banyak mengeluhkan kekurangan pasokan air bersih. Belum lagi para perajin kulit nabati dibayar dibawah Upah Minimum Regiona (UMR). Dari sana, Pijak Bumi mulai berbenah setelah melakukan validasi dengan literatur mengarah ke sustainable dengan membuat circular business model dari hulu ke hilir. Sayang, akibat perombakan manajemen ini internal mereka satu per satu banyak yang berguguran. Alasannya karena masing-masing individu ingin fokus dengan business oriented dari pada harus memulai usaha ramah lingkungan.

Baca Juga: Jawa Classic, Mengulik Limbah Menjadi Apik dan Menarik

Sejak dari sini bisnis berkelanjutan yang mereka dirikan tidak hanya mengganti material, tapi juga harus berdampak yang selalu mereka perhatikan dan ukur dari tahun ke tahun. Seperti misalnya merekomendasikan agar para pelanggan yang telah menggunakan sepatu mereka selama 2-3 tahun agar sepatunya mau di rekondisi atau di daur ulang oleh Pijak Bumi. Harapannya, tentu dikemudian hari sepatu-sepatu buatan mereka tidak menjadi sampah.

Karakteristik sepatu juga mereka ubah lalu menggantinya dengan bahan yang benar-benar ramah lingkungan. Selama prosesnya, mereka juga mengurangi penggunaan lem dengan lebih banyak menggunakan jahitan tangan. Sampai saat ini Pijak Bumi memiliki 3 value utama, yakni good design, ethically made, good governance. Dibuktikan ketika mereka mengganti material kulit sapi nabati dengan serat tumbuhan yang dapat di daur ulang. Tak sampai disitu, Pijak Bumi juga memperhatikan para pekerja, pengrajin, peneliti, pelanggan agar bisnis mereka benar-benar eco friendly.

Setelah melakukan bisnis seperti ini, lalu apa yang mereka dapatkan? Hasil yang Pijak Bumi dapatkan yakni berada di jalan yang tepat karena tidak banyak produsen sepatu yang berdagang seperti mereka. Tak hanya itu, mereka juga dibuat bangga ketika orang-orang berbicara panjang lebar soal bisnis sepatu yang ramah lingkungan yang mencakup bisnis berkelanjutan dari hulu ke hilir.

Baca Juga: Menerapkan Strategi Bisnis Berkelanjutan

2. PT Maggot Indonesia Bersih, Penyedia Jasa Pengolahan Limbah Organik

Ide awal pendirian jasa pengolahan limbah organik dimulai ketika sang founder PT Maggot Indonesia Bersih, Dhea Lubis masih bekerja pada sektor F&B dengan membuat aneka macam kue. Setelah tak lagi bekerja pada 2021, Dhea mencari celah untuk menambah pundi-pundi rupiah dengan mengikuti banyak pendidikan secara daring. Dari salah satu materi yang Dhea ikuti, si narasumber mengatakan jika potensi ekspor belatung lalat hitam (maggot black soldier fly) sangat terbuka lebar, terutama untuk pasar Amerika Serikat (AS).

Sejak saat itu, Dhea mencari literatur mengenai binatang yang dikenal sebagai larva tersebut. Singkat cerita, Dhea pun terbang ke Bali demi mendapatkan informasi yang benar-benar akurat dari binatang pengolah sampah organik. Tujuannya adalah untuk mendirikan sendiri bisnis dengan passion barunya, yakni berada di project social bukan F&B karena dianggapnya seperti berjalan dengan dua kaki. Profit dia dapatkan, social impact juga dia rasakan.

Maggot diklaim memainkan peran serupa dengan cacing merah dan dianggap sebagai pengurai atau si penghancur substrat organik sekaligus mengembalikan nutrisi tanah. Tak hanya itu, kotoran maggot juga kerap digunakan untuk membuat kompos rumah tangga. Selain itu, maggot merupakan sumber protein alternatif untuk budidaya, pakan ternak, makanan hewan dan sampai nutrisi manusia.

Baca Juga: Ragam Bentuk Pelestarian Lingkungan Untuk UMKM

Seiring berjalannya waktu, ternyata bisnis ini tidak benar-benar ramah lingkungan lantaran banyaknya bangkai lalat selama maggot melumatkan sampah-sampah organik. Dari sana, Dhea kembali mencari literatur mengenai pengolahan bangkai lalat. Tak membutuhkan waktu lama, Dhea mendapatkan informasi jika bangkai ini dapat diekspor karena kandungannya sama dengan kulit udang yang mengandung kitin. Lantaran tidak bisa membuat kitin karena keterbatasan ekonomi, dia menyulap bangkai lalat tersebut menjadi pakan lele.

Usahanya belum berhenti sampai di sini. Dhea mengaku terus mendalami bisnisnya ini dengan banting stir menjadi penyedia jasa pengolahan limbah dengan tidak lagi langsung terjun ke lapangan mengolah sampah organik. Alasannya karena peluangnya yang begitu luas dan terbuka lebar. Pabrik-pabrik, sampai masyarakat mereka edukasi secara gratis bagaimana caranya mengolah sampah organik menggunakan jasa maggot. Kemudian hasilnya mereka ambil untuk diolah atau dijual. Dari sini kata Dhea tak ada satupun pihak yang dirugikan. Semuanya mendapatkan hasil melalui maggot-maggot ini.

Setelah semua orang menjadi terbiasa dengan kehadiran maggot-maggot, atau masih fokus melakukan budidaya maggot, Dhea selangkah di depan karena mampu melakukan inovasi. Hal ini dianggap akan membentuk ekonomi sirkuler yang lebih baik untuk Indonesia yang lebih bersih lagi.

Baca Juga: Mengelola Bisnis Jadi Ramah Lingkungan Dengan Menggunakan Solar Panel


Apa yang Harus Dilakukan Sebelum Memulai Bisnis Berkelanjutan?

Program Initiator DSC & Komite Pengembangan Kemitraan APINDO, Edric Chandra menyebutkan penting bagi Sahabat Wirausaha untuk mengetahui budaya kerja (working culture) bisnis yang nantinya akan dijalankan. Sebagai pemilik usaha, Sahabat Wirausaha seharusnya memiliki kebebasan dalam menentukan working culture tersebut. Entah itu mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang Jepang atau American style. Karena saat ini, dunia masih mengikuti tren dari dua tipe working culture tersebut. Untuk budaya Jepang (Japstyle) memiliki tipe komunal, mengedepankan kebersamaan, hingga bekerja dengan target yang tidak mungkin untuk dicapai. Hasilnya, terbentuk suatu tim yang solid dalam organisasi. Meskipun mungkin pekerja tidak mendapatkan hasil terbaik, Tapi yang menjadi benang merahnya disini adalah kerja tim menjadi solid karena terinspirasi secara bersama-sama.

Bagi orang Jepang, hal tersebut menjadi kepuasan tersendiri karena telah melakukan upaya atau proses yang maksimal. Para pekerja hanya fokus bagaimana perusahaan lebih baik dari tahun ke tahun. Sedangkan American style, lebih pada individu, memiliki mimpi yang besar karena tidak ada mimpi yang tak bisa diwujudkan. Artinya, jika tiap individu tidak mencapai target yang ditetapkan perusahaan, mereka akan kecewa lalu menjadi frustasi. Sikap yang terjadi di Jepang tidak akan pernah dilakukan oleh pekerja-pekerja Amerika. Dari dua kultur diatas sebagai pengusaha tentu saja kita boleh memilih culture style untuk diterapkan di perusahaan ramah lingkungan yang nantinya kita dirikan. Harapannya tentu saja agar tujuan perusahaan menjadi jelas dan berkelanjutan. Tidak hanya hari ini dan esok, bahkan bisa berkembang dari generasi ke generasi.

Baca Juga: Kanagoods, Melangkah Dengan Produk Fashion Berkelanjutan

Nah, semoga dua contoh bisnis di atas dapat menginspirasi Sahabat Wirausaha untuk bergerak dan memulai bisnis berkelanjutan yang ramah lingkungan. Atau paling tidak setelah membaca artikel ini Sahabat Wirausaha sudah memiliki pondasi yang kuat dan memiliki gambaran tentang bisnis berkelanjutan ramah lingkungan.

Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini.

Sumber gambar:

https://pixabay.com/photos/lightbulb-energy-nature...

Sumber artikel:

YouTube TopKarir Indonesia

https://www.ukmindonesia.id/baca-deskripsi-posts/m...