Green lifestyle illustrated people

Bisnis sosial selalu menyatakan dirinya sebagai cara untuk memperjuangkan perubahan sosial melalui mekanisme pasar. Namun, banyak sekali pihak yang meragukan hal ini sebagai sebuah kemungkinan. Gerakan sosial biasanya dijalankan oleh lembaga swadaya masyarakat; sementara mekanisme pasar dijalankan oleh perusahaan. Di antara keduanya terdapat jurang yang sangat lebar, bahkan pertentangan. Begitu kata sebagian orang yang masih terperangkap dalam pembagian ketat yang terjadi di masa lalu.

Baca Juga: 4 Tindakan Menerapkan Blue Ocean Strategy

Di masa lalu, tak bisa dimungkiri, yang terjadi adalah bahwa pasar merupakan lokus di mana ketidakadilan terjadi. Mekanisme perdagangan itu sendiri sesungguhnya bersifat netral, namun apa yang terjadi membuktikan bahwa netralitas itu kemudian diselewengkan. Dengan informasi yang timpang, para pedagang juga bisa membuat ketimpangan keuntungan. Mereka mengambil keuntungan yang besar sambil membuat lawan transaksinya mendapatkan keuntungan yang jauh lebih kecil, atau bahkan mengalami kerugian. Pasar kemudian menjadi lokasi di mana keserakahan dimaklumi, dan mekanismenya diciptakan untuk melayani kepentingan itu.

Oleh karena itu, gerakan sosial kemudian kerap berada pada posisi yang diametrikal dengan pasar. Para pemuka gerakan sosial menginginkan keadilan terwujud, dan untuk itu ideologi pasar harus dilawan. Pertukaran barang dan jasa melalui transaksi ekonomi kemudian dimusuhi, dan sedapat mungkin dihindari kalau yang dituju adalah perubahan sosial menuju kondisi masyarakat yang lebih baik. Gerakan sosial pun mengandalkan mekanisme semacam pengembangan masyarakat dan filantropi yang menghindari mekanisme pasar sejauh mungkin.

Baca Juga: Google Trend Report, Memahami Trend Pasar Melalui Mesin Pencarian

Tetapi itu semua adalah gambaran di masa lalu. Ketika kesadaran timbul di antara para pemuka gerakan sosial bahwa mekanisme pasar tak bisa dirontokkan sama sekali karena pertukaran memang sesuatu yang alamiah, maka pendekatan atas itupun diubah. Pertanyaannya bukan lagi bagaimana mengenyahkan pasar demi keadilan, melainkan bagaimana memanfaatkan mekanisme pasar untuk keadilan dan kemaslahatan masyarakat luas. Kalau dahulu penikmat mekanisme pasar hanyalah mereka yang bermodal, kini perlu dipastikan bahwa pasar bisa melayani kepentingan masyarakat yang jauh lebih besar. Kalau perlu, pasar dibuat jadi lebih menguntungkan kelompok masyarakat rentan.

Yang paling getol mewujudkan ide tersebut adalah mereka yang menyatakan dirinya sebagai wirausahawan sosial atau social entrepreneur. Lewat bisnis sosial yang mereka dirikan dan kelola, pasar dimanfaatkan untuk melayani kepentingan gerakan sosial yang mereka perjuangkan. Caranya tentu saja dengan memastikan bahwa pencarian laba bukanlah sebagai tujuan tertinggi. Dengan begitu, tingkat keuntungan tidak akan dibuat setinggi mungkin. Demikian juga, ketimpangan informasi harus dikikis bahkan dihilangkan, sehingga perdagangan yang adil mungkin dilakukan. Ketika ketimpangan informasi hendak dihilangkan, maka transparensi maksimal adalah jalan yang diambil.

Baca Juga: 3 Langkah Pemanfaatan Data Untuk Mengambil Keputusan Bisnis

Ada istilah yang dikembangkan oleh duo ahli manajemen C.K. Prahalad dan Stuart Hart bagi upaya untuk mengikutsertakan kelompok yang kurang beruntung ke dalam mekanisme pasar yang bisa mendatangkan keuntungan kepada mereka, yaitu fortune at the bottom of the pyramid (2002). Belakangan, kata bottom yang mengandung konotasi negatif diganti dengan base yang lebih positif. Pendekatan ini membuat banyak pengusaha—baik yang menggunakan pendekatan bisnis sosial maupun bisnis komersial—melihat bahwa berbisnis dengan kelompok masyarakat itu ternyata sangatlah menguntungkan.

Keuntungan itu, tentu saja, bukan saja dirasakan oleh perusahaan yang melayani kebutuhan kelompok masyarakat itu, melainkan juga dan terutama oleh masyarakat. Kalau tadinya mereka tak terlayani oleh produsen barang dan jasa, kini mereka bisa mendapatkan layanan itu. Banyak, sebagai misal, barang kebutuhan higiene atau jasa kesehatan yang kemudian bisa diakses oleh masyarakat lantaran strategi produknya (termasuk ukuran, kemasan, dan harga) berbeda dengan yang selama ini dipergunakan untuk kelompok ekonomi di atasnya. Namun, keuntungan terbesar tentu saja bukan datang dari status mereka sebagai konsumen belaka. Para pebisnis sosial banyak yang dengan brilian bisa mendatangkan peluang bisnis kepada kelompok masyarakat ini, dan tentu saja meningkatkan daya beli dan kesejahteraan secara keseluruhan.

Baca Juga: Tips Melakukan Riset Pasar Bagi UMKM

Ketika hal tersebut terjadi, para pebisnis sosial ini benar-benar mewujudkan apa yang oleh Jed Emerson disebut sebagai blended value proposition (2003), yaitu bahwa manfaat sosial bisa bergandengan tangan dengan keuntungan ekonomi. Buat para pebisnis sosial, keuntungan ekonomi yang mereka peroleh kelak majoritasnya akan dipergunakan untuk semakin meluaskan kelompok masyarakat yang dilayaninya, atau melayani kebutuhan yang baru. Jadi, tak ada alasan lagi untuk memusuhi pasar sepanjang perdagangan bisa dilakukan dengan adil bukan? Gerakan sosial dan mekanisme pasar memang bisa bergandengan tangan!

Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.


Sumber:

Artikel ini pernah dimuat di surat kabar KONTAN, pada tanggal 20 Agustus 2015.