Apa itu Berkembangnya Conscious Consumption di Dunia Bisnis?

Jargon ‘Produk Ramah Lingkungan’, ‘Produk Ramah Sosial’, ‘Organik’, dan lain sebagainya semakin sering ditemui dan diperbincangkan akhir-akhir ini. Fenomena ini merupakan perubahan pola konsumsi dalam masyarakat, secara global maupun nasional, yang tidak hanya mementingkan nilai ekonomis dari suatu produk namun juga nilai-nilai lain, seperti nilai lingkungan, sosial, dan bahkan nilai politis. Pola pembelanjaan ini dikenal sebagai Conscious Consumption, dan pola pembelanjaan ini sangat mungkin menjadi pola belanja utama di masa depan.

Baca Juga: Memilih Jenis Badan Usaha yang Sesuai dengan Kebutuhan dan Tujuan Bisnis

Fenomena conscious consumption diyakini akan semakin populer di masa depan, setidaknya menurut beberapa firma konsultansi. McKinsey (2021) dalam interview dengan Linda Dauriz, CEO dari perusahaan fashion pria Tiger Sweden, menangkap tren bahwa konsumen tidak hanya mementingkan harga namun juga sudah memperhatikan aspek keadilan dalam produk; dalam hal ini adalah memastikan bahwa brand yang menjual produk membayar pekerja, supplier, dan seluruh pihak yang berkontribusi dalam proses pencipataan produk secara adil dan wajar.

Selain McKinsey, Accenture juga menemukan hal yang sama dimana 62% responden pada survey pada bulan Juni 2020 menyatakan bahwa mereka ingin berfokus pada pola belanja yang lebih memperhatikan keseimbangan lingkungan.

Tidak ketinggalan, Forbes juga meramalkan bahwawah pandemic Covid-19 justru semakin meningkatkan kesadaran konsumen secara global mengenai kaitan antara konsumsi dengan aspek-aspek lain seperti aspek sosial dan aspek lingkungan yang menyebabkan semakin meningkatnya tren conscious consumption pada masa pandemi.

Baca Juga: Perspektif Gender Dari Hasil Survei Pedagang Online Selama Pandemi COVID-19

Forbes bahkan lebih lanjut memotret pentingnya perusahaan untuk mulai berbenah dalam seluruh aspek usahanya, karena konsumen sudah lebih kritis sebelum memilih produk dan tidak bisa diyakinkan melalui program CSR atau donasi semata.

Kesimpulan Forbes tidak dapat dianggap remeh, terlihat dari beberapa perusahaan besar yang sudah mulai mencanangkan, bahkan melakukan, pembenahan di seluruh kegiatan usahanya agar dapat mengakomodir nilai-nilai yang dianggap etis oleh konsumen.

Sebagai contoh, Google sudah mencanangkan untuk menggunakan sumber energi yang tidak menghasilkan polusi karbon (carbon-free energy) untuk pusat data dan kantornya di tahun 2030. Apple bahkan mencanangkan menjadi perusahaan bebas karbon (carbon-neutral) pada tahun 2030 baik dari aspek operasional, aspek rantai pasokan (supply chain), dan siklus hidup produk (product life cycle).

Tidak hanya terkait lingkungan, pembenahan di aspek sosial juga mulai terlihat, salah satunya oleh Zilingo, yang sudah menargetkan untuk melakukan sertifikasi mitranya di industri garment untuk menjamin tidak ada praktik pekerja anak dan/atau pekerja dengan upah sangat minim pada ekosistemnya.

Tren conscious consumption bahkan juga sudah dimulai di beberapa negara melalui peraturan, seperti Uni Eropa yang mewajibkan sertifikasi bagi setiap kayu dan/atau produk kayu yang masuk UE untuk menjamin bahwa kayu bukan merupakan hasil pembalakan liar, dan di Belanda yang mewajibkan sertifikasi buah bagi produk buah yang ingin dijual di Belanda.

Tren ini tidak hanya berlangsung di negara maju, namun juga sudah mulai terlihat di negara-negara berkembang. Kesadaran konsumsi terlihat di negara Tiongkok, terutama di kalangan konsumen wanita muda yang lebih memperhatikan aspek sosial pada merek fashion. Selain itu, di India, tren ini juga sudah terlihat pada tahun 2019 dan terakselerasi pada tahun 2020, terutama dalam aspek lingkungan dalam makanan.

Baca Juga: Ragam Bentuk Pelestarian Lingkungan Untuk UMKM

Di Indonesia sendiri, tren sadar berkonsumsi juga mulai mendorong beberapa produsen untuk tidak lagi menyediakan sedotan plastik, kantung belanja dari plastik, dan bahkan mendorong beberapa merek kecantikan untuk beralih menggunakan bahan baku alami (non-kimia) dalam produknya untuk mengurangi limbah kimia yang berbahaya bagi ekologi.

Tren conscious consumption adalah sebuah keniscayaan, dan penting bagi UMKM untuk memahami tren ini dan dampaknya terhadap usaha mereka.


Tentang Apa itu Sebenarnya Conscious Consumption ?

Conscious Consumption adalah pembelanjaan yang tidak hanya mempertimbangkan nilai ekonomis dari suatu barang, namun juga memperhitungkan nilai ekonomis, sosial, dan bahkan politis. Beberapa studi menekankan bahwa pembelanjaan dapat dipandang lebih besar dari sekedar pemenuhan kebutuhan atau keinginan namun juga pemenuhan agenda konsumen tersebut.

Adalah James Buchanan pada tahun 1954 yang mempopulerkan ‘Vote with Dollars’, bahwa konsumen menentukan jalannya masyarakat melalui pembelanjaan yang dilakukannya. Kerangka ini kemudian disempurnakan oleh peneliti lainnya (Kathleen Kevany, 2019) yang menyatakan bahwa conscious consumption adalah kemelekan konsumen akan pembelanjaan dan dampaknya terhadap aspek-aspek yang dianggap penting oleh konsumen tersebut yang umumnya berupa aspek sosial, ekonomis, dan lingkungan.

Baca Juga: Lima UKM yang Sukses Membangun Sustainable Business

Kemelekan konsumen ini sebetulnya sudah berlangsung sedari dulu, namun meningkatnya tingkat pendidikan, semakin cepatnya arus informasi, dan globalisasi menjadi katalis bagi kemelekan berbelanja di kalangan konsumen.

Conscious consumption tidak bertitik berat pada tingkat harga, namun kepada purpose (tujuan) dari pembelanjaan. Terdapat 2 bentuk conscious consumption yang semakin populer di kalangan konsumen yaitu Buycott dan Positive Purchasing. Buycott merupakan bentuk boikot konsumen kepada sebuah produsen yang melanggar nilai-nilai etis yang diyakini oleh konsumen.

Salah satu bentuk Buycott dialami oleh The Body Shop dimana para konsumen menyatakan tidak lagi membeli produk The Body Shop akibat indikasi pencobaan produk pada hewan. Pada tahun 2017, The Body Shop akhirnya mengumkan bahwa perusahaan tidak akan lagi mengujicobakan produk pada binatang. Buycott ini akhirnya berhenti setelah Naturewatch (organisasi nirlaba) berdiskusi dengan The Body Shop untuk menghentikan kampanye boycott ini.

Di sisi lain, Positive Purchasing adalah pembelanjaan konsumen dikarenakan sebuah perusahaan secara konsisten mendukung nilai-nilai yang dianggap ideal oleh konsumen. Eat Just Inc. menjadi salah satu contoh paling baru terkait tindakan ini. Mengusung pola makan berkelanjutan (sustainable eating habits), Eat Just berusaha mengembangkan produk hewani (daging, telur, dsb) tanpa harus membesarkan dan membunuh binatang.

Baca Juga: Bangun Customer Engagement Lewat Gimmick Promosi di Media Sosial

Selain mengurangi tekanan kepada ekosistem, praktik ini juga meniadakan pemotongan terhadap hewan; nilai yang dipandang penting dalam masyarakat global saat ini. Sebagai dampaknya, Eat Just mendapatkan animo tinggi dari konsumen dan dari investor yang menyebabkan Eat Just terus berekspansi bahkan di masa pandemic.

Conscious consumption merupakan pola potensial untuk pengembangan usaha bisnis. Pada industri fashion, nilai dari fashion beretika (minim limbah, tidak menggunakan bahan baku dari binatang, adil dalam kompensasi kepada pekerja) mencapai US$ 6.35 Miliar, dengan peningkatan tahunan rata-rata 8.7% semenjak tahun 2015.

Pasar ini diestimasi akan bernilai US$ 8.25 Miliar pada tahun 2023 dan bahkan dapat menjadi praktik lumrah bagi industri fashion di masa depan. Hal yang sama terjadi pada makanan, khususnya daging. Daging organik (hewan dibesarkan di ladang bukan kandang, tanpa bahan kimia, pola makan alami) diestimasi sudah menyentuh angka US$ 15.92 Miliar pada tahun 2020 dan bertumbuh pada double-digit growth rate sebesar 10.7% per tahun.

Harvard Business Review (HBR) juga menyimpulkan hal yang sama dimana performa penjualan jauh lebih baik untuk produk-produk yang berhasil mengedepankan nilai-nilai lingkungan dan/atau sosial dalam produk/merknya.

Baca Juga: Bagaimana UMKM Menerapkan Target Penjualan?


UMKM Indonesia dan Penerapan Conscious Consumption pada Usaha Indonesia

Sejauh ini kita sudah memandang strategi terkait conscious consumption dari pelaku usaha besar. Namun, strategi terkait conscious consumption juga sangat sesuai untuk UMKM. Penyesuaian proses bisnis untuk memastikan bahwa produk sesuai dengan nilai-nilai yang dianut konsumen justru dapat menurunkan biaya produksi, meningkatkan tingkat kompetitif dari produk, meningkatkan pangsa pasar produk, dan meningkatkan kemungkinan usaha untuk mendapatkan kerjasama dengan pihak lain.

Pangsa pasar untuk konsumen yang berbelanja dengan kesadaran di Indonesia sudah mulai terlihat. Contoh paling nyata dibuktikan oleh kesuksesan Lemonilo yang mengusung health consciousness (kemelekan kesehatan) dalam produknya.

Baca Juga: Strategi Meningkatkan Penjualan Jelang Lebaran

Sedangkan untuk nilai sosial juga sudah dibuktikan oleh keberhasilan Sayurbox dan Tanihub, yang menekankan kesejahteraan petani dalam proses bisnisnya. Sayurbox dan Tanihub bahkan berhasil mengamankan rantai pasokan makanan langsung dari petani dan mengurangi praktik ketergantungan petani terhadap pengepul yang terkadang membeli terlalu murah dari petani.

Sebagai hasilnya Sayurbox dan Tanihub sukses berkembang, bahkan di masa pandemi sekalipun. Studi Hakuhodo Institute of Life and Living ASEAN (HILL ASEAN) yang dirangkum oleh Jakarta Globe juga menunjukkan bahwa secara umum (86%) masyarakat Indonesia sudah lebih mengutamakan pembelanjaan yang mendukung aspek sosial dalam masyarakat, seperti pembelanjaan produk lokal maupun pembelanjaan produk UMKM.

Pola ini juga terjadi di hampier seluruh wilayah ASEAN. Hal ini menandakan bahwa konsumen Indonesia, dan bahkan ASEAN, sudah bertransformasi menjadi konsumen yang melek akan nilai lain selain nilai ekonomi dalam pembelanjaannya.


Bagaimana UMKM Memanfaatkan Conscious Consumption?

UMKM Indonesia dapat memanfaatkan pangsa pasar yang berkembang ini. Beberapa studi juga sudah merangkum manfaat perubahan pola usaha dalam rangka memuaskan conscious consumer. Studi terkait aspek ekologi seperti penggunaan sumber daya secara hati-hati ternyata berhasil menurunkan biaya produksi, memotivasi pegawai untuk bekerja lebih efektif (karena pembatasan jam operasional), dan meningkatkan pembelanjaan dari konsumen.

Baca Juga: Pemanfaatan Media Sosial Untuk Meningkatkan Penjualan

Sedangkan terkait aspek sosial, sebuah restoran di Brisbane mencatatkan peningkatan konsumen sebagai dukungan atas aksi restoran yang selalu memberikan makanan gratis bagi tunawisma (homeless) setiap malam.

Manfaat lain juga terlihat dari dukungan berbagai pihak lain terkait usaha yang berhasil menyesuaikan produksinya untuk mendorong conscious consumption. Terkait investasi, terdapat beberapa Venture Capital yang sudah menekankan prioritasnya pada usaha yang mendukung aspek kelangsungan ekologi dan keadilan sosial dalam usahanya, salah satunya 500 Startups yang menekankan komitmennya untuk mendukung usaha yang dimulai oleh kaum minoritas.

Selain dari pihak swasta, dukungan juga dapat berasal dari pemerintah. Di Indonesia, Pemerintah sudah menyatakan dukungannya untuk usaha yang bergerak di bidang pariwisata berkelanjutan.

Manfaat dalam bentuk penghematan biaya, akusisi pasar, dan dukungan dari pihak lain dapat dinikmati juga oleh UMKM apabila UMKM berfokus untuk menjaga nilai-nilai yang dianggap etis sehingga dapat mengakomodir kebutuhan conscious consumption. Namun ada beberapa hal yang juga patut dipahami oleh UMKM sebelum bisa menikmati manfaat ini.

Baca Juga: Kemitraan, Strategi Bisnis UMKM Dalam Meningkatkan Omzet Penjualan

Pertama, UMKM harus memahami dengan tepat tipe konsumen yang akan melakukan pembelanjaan. Meskipun sudah menjadi tren, namun conscious consumption belum sepenuhnya dipahami oleh seluruh konsumen yang ada. Sehingga, menentukan target conscious consumers merupakan hal awal yang perlu dilakukan oleh UMKM.

Kedua, UMKM harus mampu untuk melakukan storytelling, menjelaskan mengenai aspek ideal yang sudah dilakukan oleh UMKM dalam menghasilkan produk, sehingga konsumen yakin bahwa pembelanjaan mereka memang benar mengakomodir nilai yang dikejar oleh konsumen. Terakhir, UMKM harus secara konsisten menjaga nilai yang dipromosikan oleh produknya.

Conscious consumers merupakan konsumen yang kritis dan secara rutin mengecek kesesuaian klaim produsen dengan praktik yang sebenarnya. Apabila ditemukan ketidakcocokan antara klaim dengan praktik di lapangan, hal ini dapat memberikan kekecewaan yang berlipat ganda bagi konsumen.


Kesimpulan

Pola pembelanjaan berkesadaran (conscious consumption) sedang dan akan terus menjadi tren di masa depan. Hal ini menghadirkan peluang bagi dunia usaha, terutama UMKM. Kemampuan UMKM untuk secara lincah mengatur ulang strategi di setiap proses bisnisnya membuat UMKM berpeluang lebih awal untuk memanfaatkan tren ini.

Namun, potensi ini harus dibarengi dengan kemampuan UMKM untuk memahami pasar dan konsumennya secara detil. Selain itu, UMKM juga dituntut untuk mengerti secara menyeluruh mengenai nilai ideal yang dikejar konsumen, dan secara konsisten mendukung nilai tersebut dalam seluruh proses usahanya.

Poin yang bisa ditambahkan:

  • Apakah bisa dan bagaimana UMKM yang produknya konvensional dapat memanfaatkan pola conscious ini?
  • Sebaiknya juga dijelaskan manfaatnya untuk bisa ekspor, khususnya ke negara-negara maju
  • Selain venture capital, setahu gw Lembaga perbankan saat ini juga ada komitmen untuk menyalurkan kreditnya ke usaha-usaha yg berorientasi social dan lingkungan

Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.