BADAN Usaha Milik Desa kaprahnya disebut BUMDes mulai beroperasi di berbagai wilayah Tanah Air. BUMDes lahir dari amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan dukungan kuat berupa dana desa. Tujuannya seperti Nawa Cita Ketiga Jokowi, "Membangun Indonesia dari pinggiran".

Selepas kebijakan politik (policy) diketok, kemudian birokrasi bekerja untuk mewujudkannya. Dalam praktiknya, tak sedikit pemerintah desa (pemdes) yang gagap mengoperasionalkan BUMDes.

Salah satu sebabnya adalah kebiasaan mereka bekerja di koridor birokrasi pemerintahan, sekarang dituntut bekerja laiknya wirausahawan. Di situ tentu butuh waktu penyesuaian yang tidak sebentar.

Di sisi lain, keberadaan BUMDes dilihat sebagai ancaman potensial oleh gerakan koperasi Tanah Air. Hulunya, negara dianggap meninggalkan koperasi yang dulu sempat favorit, paling tidak di zaman Orde Baru. Hilirnya, sebagian koperasi beroperasi di wilayah pedesaan. Kegelisahan itu mengemuka saat Kongres Koperasi di Makassar, Juli 2017.

Padahal, model keduanya menjejak di ruang yang sama: ekonomi sosial. Ini merupakan sebuah mazhab ekonomi yang bertujuan mencapai kesejahteraan sosial.

BUMDes dan koperasi bisa saja kita sebut sebagai saudara laiknya kakak dan adik. Koperasi sebagai kakak dan BUMDes, yang lahir belakangan sebagai adik.

Tak elok bila kakak-adik bertengkar saat tujuannya sama, yakni membangun dan mengupayakan kesejahteraan desa sebagai rumah bersama.

Perlu upaya kreatif-sintetik untuk mencari ruang dan titik temu keduanya. Syarat pertamanya, perbesar daftar persamaan dibanding perbedaan.

Sutoro versa Suroto

Ada dua ikon yang selalu muncul dalam perdebatan hubungan BUMDes dan koperasi. Sutoro merupakan aktivis desa, melihat keterbatasan daya dukung koperasi karena berorientasi pada anggotanya semata.

Tentu saja pandangan terbatas itu bisa kita pahami karena yang bersangkutan berada di ruang lain. Boleh jadi Sutoro tidak mengetahui adanya model social co-operative, misalnya.

Di sisi lain adalah Suroto, aktivis koperasi, melihat BUMDes bisa terjebak pada korporatisasi di level desa. Penyebabnya Peraturan Menteri Desa Nomor 4 Tahun 2015 mengatur badan hukum usaha BUMDes hanya boleh perseroan terbatas (PT) dan nafikan koperasi.

Pandangan itu juga bisa dipahami karena yang bersangkutan berada di ruang lain. Yang tidak melihat adanya peluang skema private-public partnership, misalnya.

Tegangan kreatif dua tokoh itu sering mengemuka di berbagai diskusi, offline dan online.

Sebenarnya antara keduanya memiliki titik temu. Sutoro, misalnya, sudah mulai mengelaborasi ruang irisan antara BUMDes dan koperasi. Katanya, BUMDes dapat lakukan penyertaan modal pada koperasi.

Suroto tidak berbeda jauh. Ia mengusulkan agar pemdes dirikan apa yang disebutnya sebagai "koperasi publik", yaitu koperasi yang permodalannya sebagian disokong dari pemdes.

Titik temu pandangan dua tokoh itu telah mengerucut dan sudah dapat dioperasionalkan. Kolaborasi antara BUMDes dan koperasi adalah mungkin, bahkan niscaya. Lantas, bagaimana pola atau skemanya?

Ideal ekonomi sosial

BUMDes dan koperasi sama mazhabnya, yakni ekonomi sosial (social economy). Bila kita gunakan istilah lain yakni demokrasi ekonomi, yakni sebuah model tata milik, kelola, serta distribusi yang diselenggarakan oleh, dari, dan untuk komunitas. Medan gravitasinya adalah demokrasi dengan komunitas sebagai pusat gravitasinya.

Ideal type itu harus menjadi pijakan kakak dan adik sebagai common ground. Praktik-praktik yang tidak mencerminkan tipe ideal merupakan penyimpangan.

Misalnya saja, Sutoro melihat banyak koperasi yang dimanfaatkan segelintir elite organisasi (elite capture) untuk memperkaya diri.

Di sisi lain, Suroto melihat kemungkinan terjadinya pencaplokan sumber daya saat BUMDes terintegrasi dengan perseroan holding nasionalnya. Ia mencontohkan pengalaman Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin) yang mengalami demutualisasi menjadi bank swasta.

Dengan memijak pada ideal type mazhab ekonomi sosial itu, baik BUMDes dan koperasi dapat saling benchmark satu sama lain.

Di sisi lain, keduanya dapat saling koreksi bahwa tujuan adanya (raison d’etre) adalah bagi kesejahteraan sosial. Dalam kesamaan tujuan itu, waktu yang akan membuktikan model mana yang lebih tangkas dan produktif.

Atau, boleh jadi perkawinan silang keduanya menghasilkan ketangkasan (agility) dengan tingkat produktivitas lebih tinggi.

Penyertaan modal (bergulir)

Ambillah contoh di Banyumas, untuk meningkatkan kesejahteraan, para perajin gula merah (penderes) dapat mendirikan koperasi produksi.

Setelah berbadan hukum, seperti maklumat Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1998 dan Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11/Per/M.KUKM/IX/2015, BUMDes dapat melakukan penyertaan modal kepadanya. Akselerasi modal terjadi sehingga kapasitas pembelian gula penderes oleh koperasi naik. Hasilnya, penderes dapat lepaskan diri dari skema pertengkulakan.

Contoh lain, misalnya, BUMDes melakukan penyertaan modal pada Koperasi Unit Desa (KUD) yang memiliki usaha ritel. BUMDes tak perlu bersusah payah membangun dan memulainya dari awal. Cukup meminta KUD membuka cabang layanan di desa tersebut.

Dengan pengelolaan yang terintegrasi, keberlanjutan usaha lebih mungkin tercipta. Berbagai klausul, seperti harga dan layanan lain, dapat mereka rembuk bersama.

Cara yang lain, pemdes dapat memfasilitasi masyarakat untuk mendirikan koperasi. Model bisnisnya dapat disesuaikan sedari awal agar sesuai kebutuhan masyarakat.

Setelah berbadan hukum, BUMDes melakukan penyertaan modal. Seluruh masyarakat juga memiliki kesempatan menjadi anggota dan tentu saja partisipasi modal. Idealnya tak perlu melakukan mobilisasi, cukup promosi aktif koperasi kepada masyarakat.

Skema penyertaan itu bisa seperti tawaran Sutoro, 60 persen dari BUMDes dan sisanya adalah masyarakat atau anggota koperasi.

Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Koperasi mengatur bahwa pemodal, sebutan bagi pihak yang menyertakan modal di koperasi, tidak punya hak suara di rapat anggota. Namun, pemodal bisa terlibat dalam mengelola, bila mampu.

Yang pasti, pemodal terlibat dalam pengawasan operasional usaha. Koperasi juga wajib untuk melaporkan perkembangan usaha kepada pemodal.

Dengan keterbukaan koperasi, anggota bisa bertambah saban waktu. Mereka memiliki kesempatan yang sama memodali koperasi lewat instrumen simpanan saham atau lainnya. Makin banyak anggota, makin besar partisipasi modal dari masyarakat.

Dalam kondisi seperti itu, di tahun ketiga atau kelima, BUMDes bisa menarik sebagian penyertaan modalnya, menjadi tersisa hanya 20 persen, misalnya.

Dana segar itu dapat BUMDes investasikan kembali pada jenis koperasi lainnya. Polanya sama, bila modal masyarakat sudah cukup kuat, BUMDes menarik sebagian penyertaannya dan sisakan sebagian sebagai fungsi kontrol.

Pola itu bisa dilakukan berulang kali pada jenis koperasi berbeda seperti skema revolving fund.

Pada titik itu, BUMDes menjadi semacam fund management yang melakukan investasi di banyak perusahan berlainan sektor. Keunggulannya adalah menyebar resiko atas kerugian usaha, memperluas manfaat bagi banyak sektor dan orang, serta balas jasa yang berkelanjutan. Dalam skema investasi itu berlaku diktum, 1 kali 7 lebih bagus daripada 7x1.

Daya ungkit kolaboratif

Pola kolaborasi di atas akan menghasilkan daya ungkit bagi semua pihak. Pertama, BUMDes yang lahir belakangan tak perlu melakukan kesalahan berulang-kali seperti yang dialami oleh perusahaan koperasi.

Bagaimanapun, koperasi memiliki pengalaman panjang dengan serial jatuh-bangun berulang. Dan karenanya, koperasi memiliki kapasitas kewirausahaan dan manajemen yang baik hasil praktik puluhan tahun.

Kedua, terjadi akselerasi modal pada koperasi untuk pengembangan usaha, apalagi bila balas jasanya lebih rendah dari bank.

Di sisi lain, penyertaan modal pada koperasi menjadi instrumen bagi peningkatan tata kelola yang baik (good cooperative governance). Koperasi dituntut lebih profesional, transparan dan akuntabel.

Ketiga, masyarakat dilindungi oleh BUMDes dari praktik sesat koperasi yang banyak berkembang di masyarakat. Adalah rahasia umum bahwa citra koperasi terpuruk karena praktik rentenir berkedok koperasi.

Sebagai wali amanah, BUMDes melindungi hak masyarakat. Gilirannya hal itu dapat mendukung kerja dinas koperasi di daerah-daerah yang biasanya kekurangan SDM pengawasan.

Keempat, peluang terjadinya kompetisi antara BUMDes dan koperasi menjadi berkurang atau hilang sama sekali.

Bagaimanapun keduanya memiliki pasar yang sama, desa. Alih-alih berkompetisi, lebih baik bekerja sama. Jangan dilupakan, keduanya hadapi kompetitor yang sama: konglomerasi swasta kapitalis, kartel di berbagai sektor, dan sejenisnya.

Kelima, jaringan kerja BUMDes akan meluas dan transnasional. Hal itu karena gerakan koperasi memiliki wadah gerakan koperasi internasional, International Cooperative Alliance atau ICA, yang efektif di tiap regional.

Holding BUMDes sebagai perusahaan sosial dapat ajukan keanggotaan khusus, misalnya di ICA Asia Pacific. Tentu akan sangat mendukung bagi kerja sama antar kawasan.

Bandul politik

Secara jangka panjang, kolaborasi itu lebih berkelanjutan bagi masyarakat desa. Bagaimanapun, kita tak bisa memastikan apakah dana desa masih bergulir sampai 10 tahun mendatang. Hal itu karena belanja negara pasti akan membengkak.

Penyebab lain, praktis hal itu sangat bergantung pada kemauan politik rezim berkuasa. Dan terakhir, tujuan pembangunan adalah tercapainya kemandirian masyarakat. Masyarakat harus berdikari, meski tanpa dana desa.

Sekarang merupakan momen tepat melakukan investasi jangka panjang: memobilisasi, membangun, dan mengolaborasi sumber daya di desa.

Bila ternyata bandul politik berubah, masyarakat sudah cukup memiliki sumber daya untuk dikelola bersama melalui koperasi yang terhubung lewat BUMDes

Di sana BUMDes menjadi private-public platform yang pertemukan aneka jenis koperasi di masyarakat. Mari berkolaborasi!


Sumber:

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Daya Ungkit Kolaborasi BUMDes dan Koperasi", https://ekonomi.kompas.com/read/2017/11/13/085503026/daya-ungkit-kolaborasi-bumdes-dan-koperasi?page=2. 13 November 2017.

Foto: Kompas.com (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)

Penulis: Firdaus Putra, HC (Direktur Kopkun Institut, Peneliti LSP2I)

Editor: Laksono Hari Wiwoho