Banyak pertanyaan yang diajukan ke kami dalam berbagai pertemuan terkait bisnis sosial tentang dari mana datangnya ide mendirikan bisnis sosial. Setiap kali pertanyaan seperti itu diajukan, kami selalu teringat pada artikel sangat menarik dari Javier Monllor, Social Entrepreneurship: A Study on the Source and Discovery of Social Opportunities (Monllor, 2010). Ide pendirian bisnis sosial selalu datang dari apa yang disebut sebagai peluang sosial. Ketika peluang sosial dicari dan ditemukan, di situlah ide bisnis sosial disemai.

Peluang sosial sendiri adalah sisi yang lain dari masalah sosial. Keduanya merupakan sisi koin yang sama. Hanya saja, ada orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk melihat masalah, dan ada orang-orang lain yang cenderung memilih untuk melihat adanya peluang pemecahan masalah itu. Golongan pertama biasanya berkutat pada perasaan negatif, atau maksimal berusaha untuk menerangkannya. Sementara, golongan kedua melihat berbagai kemungkinan bagaimana masalah itu bisa dipecahkan dan kemudian melakukannya.

Karenanya, pakar kewirausahaan dari Universitas San Fransisco, Connie Gaglio, menerangkan bahwa para wirausahawan adalah mereka yang selalu melakukan simulasi mental dan mencoba berpikir kontrafaktual. Mengapa kontrafaktual?Karena pada awalnya sebuah kondisi itu tampak ‘secara alamiah’ sebagai masalah belaka. Butuh simulasi mental dan pemikiran kontrafaktual bahwa sesungguhnya masalah itu memiliki peluang untuk diselesaikan (Gaglio, 2004). Dan, dalam benak para wirausahawan, pemecahan masalah itu bisa mendatangkan keuntungan finansial.

Gaglio menerangkan bahwa peluang sosial itu bisa diabaikan (tetap menjadi masalah) atau dikenali. Bila dikenali, maka langkah selanjutnya adalah evaluasi. Pilihannya ada 3: ditinggalkan, dianggap kurang berharga, atau ditindaklanjuti. Ketika sebuah peluang sosial ditinggalkan, maka yang akan terjadi adalah status quo, alias keadaan yang sama dengan masa sebelumnya.

Ketika dianggap kurang berharga, mungkin saja ada pengerahan sumberdaya untuk itu. Namun biasanya bukan untuk dijadikan ide bisnis, melainkan sebagai sasaran untuk donasi atau filantropi belaka. Namun, bila pada evaluasi itu ditemukan adanya peluang pemecahan lewat mekanisme pasar yang menguntungkan, maka jadilah ia ide bisnis, yang bisa jadi komersial maupun sosial.

Monllor sendiri kemudian menerangkan lebih jauh soal model Gaglio tadi. Menurut dia, peluang sosial bagi wirausahawan sosial itu datang dari kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Baik pasar maupun pemerintah memiliki biasnya sendiri, sehingga banyak masalah yang tidak terpecahkan.

Logika pencarian keuntungan yang sangat kuat di pasar telah membuat pasar mengabaikan masalah-masalah yang kerap dihadapi oleh mereka yang tak punya uang, yaitu masyarakat miskin. Pemerintah, sebagai lembaga yang dipengaruhi politik, juga kerap hanya memerhatikan masalah-masalah yang popular di mata konstituen partai politik. Buat para wirausahawan sosial yang terlatih berpikir kontrafaktual, apa yang ditinggalkan oleh pasar dan pemerintah itulah yang merupakan peluang sosial, bukan sekadar masalah.

Apa yang dibutuhkan untuk mengenali peluang sosial itu?Monllor menjelaskan tiga hal, yaitu pengetahuan, jejaring dan kewaspadaan. Para wirausahawan sosial ini memiliki pengetahuan soal situasi yang dihadapi oleh masyarakat, selain pengetahuan mengenai bagaimana situasi yang serupa di berbagai tempat bisa diubah, yang biasanya diperoleh lantaran jejaring mereka yang luas. Kewaspadaan juga membimbing mereka untuk mengetahui apa saja aset yang ada di masayarakat maupun pihak lainnya untuk mewujudkan peluang sosial itu.

Pada tahap evaluasi, dua hal yang sangat menentukan, yaitu perceived value serta sumberdaya. Yang dimaksud dengan perceived value di sini adalah pandangan tentang manfaat apa yang bisa dihadirkan untuk masyarakat yang mengalami masalah, serta manfaat ekonomi yang bisa diperoleh bila mengusahakn pemecahannya lewat mekanisme pasar. Sumberdaya untuk mewujudkan peluang sosial juga mulai dihitung pada tahap ini.

Kalau hasil evaluasinya positif, yaitu ada manfaat bagi kelompok sasaran dan pelaku pemecahan masalah, dan sumberdaya untuk mewujudkannya memang tersedia, jadilah bisnis sosial. Pada tahap ini, juga tampak lagi peran jejaring, yang biasanya dimanfaatkan secara optimal oleh bisnis sosial di manapun.


Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 30 Maret 2017.

Penulis: Jalal dan Wahyu Aris Darmono (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)