Istilah bootstrapping memang belum banyak disosialisasikan. Namun bagi yang bergerak di dunia start-up istilah ini cukup umum digunakan. Apa itu Bootstrapping?

Bootstrapping adalah jalur atau strategi pengembangan usaha dimana pendiri (founder) atau pemilik (owner) usaha memilih untuk mengandalkan kekuatan internal. Bagaimana maksudnya? Jadi, pelaku usaha yang memilih untuk bootstrapping adalah yang umumnya memulai bisnis baru dengan modal seadanya dari kantong atau simpanan sendiri dan kemudian mengandalkan perputaran pendapatan dalam mengembangkan usahanya. Kalau dalam konteks Indonesia, bisa dibilang bootstrapping ini adalah strategi memulai usaha dengan modal dengkul. Pelaku usaha yang memulai dengan strategi bootstrapping ini umumnya memulai usaha dengan modal kecil, bahkan bisa dengan tanpa modal uang sama sekali.

Baca Juga: Menjadi Owner dan CEO Dalam BIsnis

Ada dua motivasi yang umumnya membuat pelaku usaha memilih untuk bootstrapping, yaitu karena idealisme dan tuntutan kondisi. Idealisme maksudnya adalah bahwa pendiri bisnis ingin sepenuhnya bisa mengontrol proses pengelolaan dan perencanaan usahanya, tanpa campur tangan pihak lain yang belum tentu memahami visinya. Sementara motif tuntutan kondisi maksudnya adalah bahwa sebenarnya pelaku usahanya tidak ingin memiliki kontrol penuh dan terbuka dengan partisipasi modal dan kendali pihak luar, namun dia harus bootstrap karena fase usahanya memang masih terlalu belia, sehingga belum bisa meyakinkan pihak luar - investor - untuk menanamkan (equity, saham) atau meminjamkan (loan) dananya kepada usaha tersebut.

Motivasi idealisme cukup banyak terjadi pada pelaku usaha yang bergerak di bidang yang perputaran dananya cepat, sehingga dana investasi tidak perlu lama mengendap. Contohnya adalah bidang usaha kuliner (restoran, katering), fashion, dan beberapa sektor jasa yang umumnya bisa meminta uang muka (Down Payment) dari konsumen sebagai sumber utama modal kerjanya. Sementara motivasi tuntutan kondisi umumnya terjadi pada pelaku usaha di bidang teknologi digital (aplikasi, games, platform) dan manufaktur (termasuk industri makanan minuman), yang memang membutuhkan dana besar dan waktu yang cukup lama untuk proses pengembangan teknologi dan/atau sarana produksi dan promosi, sebelum akhirnya perusahaan dapat berjualan dan menghasilkan pendapatan.

Baca Juga: Ragam Skema Insentif Usaha Kepada Pemilik UKM

Sebagai contoh, pelaku usaha katering bisa saja meminta konsumennya membayar DP 60% sehingga meningkatnya pesanan tidak akan membuat mereka membutuhkan pinjaman atau suntikan modal kerja lainnya. Berbeda dengan industri makanan dalam kemasan (snack) yang pada satu titik tertentu pasti membutuhkan mesin produksi yang lebih canggih dan tempat yang lebih besar agar bisa meningkatkan kapasitas produksi secara efisien. Mesin seperti tersebut umumnya membutuhkan layout gedung tertentu sehingga hampir pasti membutuhkan proses pembangunan berbulan-bulan di mana saat itu perusahaan belum bisa berjualan. Sehingga hampir pasti akan membutuhkan suntikan modal luar - baik dari pinjaman maupun penanaman modal. Jadi, jika ada pelaku usaha bergerak di bidang usaha ini melakukan bootstrap, hampir pasti dia lakukan itu karena tuntutan keadaan.


Hampir selalu ada dua sisi mata koin untuk setiap pilihan. Termasuk bootstrapping ini, ada sisi positif dan negatifnya. Di antara sisi positifnya adalah sebagai berikut:

1. Memiliki kontrol penuh pada bisnis

Ada pelaku usaha yang meyakini bahwa yang memahami visi dan cita-cita bisnisnya hanya diri mereka sendiri selaku pendiri, dan Tuhan. Oleh karena itu, mereka tidak ingin ada pihak luar yang ikut campur menentukan arah, strategi, target, dan langkah aksi perusahaan. Bootstrapping adalah strategi pengembangan usaha yang sangat bisa mengakomodir kebutuhan atas otonomi pengelolaan usaha ini.

Baca Juga: Mengenal Perbedaan Pemilik dan Pengelola Usaha

2. Terbebas dari tekanan bisnis

Mendapatkan investor memang menguntungkan, karena usaha dapat berkembang pesat dalam waktu yang lebih singkat pula. Tapi tentu itu semua tidak gratis dan akan ada konsekuensinya ketika kita terikat kontrak dengan investor. Terlebih jika investor memberikan modal yang cukup besar jumlahnya. Setiap pergerakan yang kita lakukan untuk pengembangan bisnis akan selalu diamati investor, beberapa keputusan strategis bahkan mungkin perlu mendapatkan persetujuan investor, dan ketika kinerja usaha turun, bisa jadi pula investor akan bertanya dan meminta penjelasan. Jadi jelas ya tekanan yang akan dihadapi lebih besar jika dibandingkan dengan jalur bootstrapping.

3. Bagian atau persentase keuntungan jauh lebih besar

Apabila kita memilih untuk menggunakan strategi bootstrapping, tak ada laba yang harus dibagi dengan investor. Dengan kata lain, semua alias 100% keuntungan bisa dinikmati sendiri. Tapi tetap teliti lho ya, karena kan 100% dari laba Rp100 juta setahun masih jauh lebih kecil dari pada 30% dari laba Rp1 milyar, kan ya? Bagian keuntungan lebih besar, tak selalu berarti nominal atau jumlahnya juga lebih besar.

4. Bisa lebih peka dengan kebutuhan konsumen

Bootstrapping mengandalkan perputaran pendapatan usaha sebagai mesin penggerak untuk pengembangan usaha. Jadi kalau ingin berkembang lebih pesat, mau tidak mau pelaku usaha harus peka dengan kebutuhan konsumen, sehingga bisa membuat produk atau paket yang benar-benar diinginkan atau dibutuhkan konsumen, sampai konsumen rela membayar dimuka (seperti made to order atau bayar dulu baru dibuatkan barangnya). Dalam konteks rumah makan atau restoran, cukup banyak juga yang membuat paket-paket kemitraan sehingga biaya penambahan cabang didanai oleh mitra yang tak lain adalah konsumennya juga jenis business to business (B2B).

Baca Juga: Access Over Ownership


Sementara diantara sisi negatifnya adalah sebagai berikut:

1. Memiliki kontrol penuh = memikul resiko dengan penuh juga

Kalau ada investor luar, kita akan memiliki pihak lain yang senantiasa mengkritisi dan memberi masukan. Ketika terjadi kerugian pun investor juga akan ikut merasakan kerugiannya. Dengan bootstrapping, mau tidak mau berbagai bentuk resiko usaha juga harus ditanggung sendiri.

2. Bisa mudah terjebak dalam zona nyaman

Ketika usaha sudah menunjukkan perkembangan, pelaku usaha yang bootstrapping cenderung lebih mudah terjebak dalam zona nyaman, karena tidak ada investor yang sejatinya akan mendorong agar proses inovasi dan pengembangan usaha terus berjalan. Inovasi secara terus-menerus amatlah diperlukan demi keberlanjutan usaha kita. Jadi bagi yang benar-benar ingin naik kelas sampai jadi usaha besar, ada baiknya membuka diri untuk investor luar, agar bisa punya semacam coach atau reviewer internal yang sangat berguna untuk meningkatkan kualitas keputusan bisnis dan menjaga bara semangat untuk terus berinovasi.

Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.

Referensi:

  1. www.investopedia.com
  2. Photo by rawpixel.com from Pexels