Perkembangan bisnis sosial diketahui telah banyak mengubah bisnis komersial. Salah satu yang cara terpenting adalah dengan mendorong bisnis komersial membuat bisnis sosial sebagai kendaraan untuk menjalankan inisiatif CSR-nya.

Contoh yang paling terkenal dari hal ini adalah kerjasama antara Grameen dengan Danone, yang menghasilkan sebuah bisnis sosial untuk memecahkan masalah malnutrisi anak di Bangladesh. Muhammad Yunus, pendiri perusahaan sosial Grameen, muncul dengan ide tersebut ketika CEO Danone, Franck Riboud, menyatakan berminat untuk membuat sebuah bisnis sosial.

Bagaimana cara Grameen Danone memecahkan masalah malnutrisi anak di Bangladesh? Sederhana. Anak-anak di Bangladesh, dari keluarga kaya maupun miskin, sangat menyukai yogurt. Selama ini, yogurt yang dikonsumsi oleh anak-anak miskin tidaklah mengandung nutrisi yang memadai. Bisnis sosial yang digagas Yunus dan Riboud itu memastikan bahwa nutrisi esensial yang diperlukan bagi pertumbuhan anak-anak ada di dalam yogurt yang harganya terjangkau oleh keluarga miskin. Fortifikasi yogurt, begitulah idenya.

Tak butuh waktu lama bagi perusahaan sekelas Danone untuk membuat pabrik pertama. Pertemuan keduanya yang menghasilkan kesepakatan itu terjadi tanggal 12 Oktober 2005. Mobilisasi sumberdaya dilakukan oleh Danone dengan sangat cepat. Bukan sekadar suntikan modal, melainkan keseluruhan sumberdaya yang dibutuhkan untuk membuat pabrik.

Danone adalah perusahaan dengan produksi yogurt terbesar di dunia. Maka, membuat pabrik yogurt dalam skala sekitar seperseratus dari yang biasa mereka bangun bukanlah hal yang terlampau rumit. Namun, mereka kemudian belajar bahwa skala ekonomi pabrik memang bisa dibuat sesuai dengan konteks lokal. Demikian juga, rantai pasokan, bahkan seluruh rantai produksinya.

Lantaran membuat pabrik Shokti Doi—demikian merk yogurt yang diproduksi—Danone menjadi sangat paham bagaimana membuat pabrik di negeri berkembang atau pasar yang baru muncul. Emmanuel Faber, COO Danone di tahun 2010, menyatakan bahwa seluruh pengetahuan teknis yang terkumpul dari membangun bisnis sosial itu sangatlah strategis bagi Danone. Bahkan, tambahan zat besi yang pertama kali dilakukan untuk Shokti Doi kemudian juga diaplikasikan untuk yogurt produksi Danone yang lain, dan dijual ke seluruh dunia.

Dampak sosial, terutama kesehatan, dari bisnis sosial ini sangatlah baik. Kebutuhan nutrisi anak-anak yang mengonsumsinya bisa terpenuhi, hampir tanpa perlu tambahan lagi. Lantaran produksi harus dibuat dalam harga semurah mungkin, banyak sekali peternak lokal yang diuntungkan oleh munculnya bisnis sosial ini. Danone sendiri tidak menerima dividen. Tetapi, modal mereka tidak hilang, bahkan terus berkembang. Ini lantaran yang dibuat adalah bisnis, bukan sekadar donasi. Danone juga sangat diuntungkan lewat akumulasi pengetahuan yang diperoleh selama terlibat dalam projek. Serta, tentu saja, reputasi yang baik.

Cerita tentang bagaimana ide bisnis sosial muncul di benak pimpinan sebuah bisnis komersial ini bisa dibaca dalam buku yang ditulis oleh Muhammad Yunus, Building Social Business: A New Kind of Capitalism that Serves Humanity’s Most Pressing Needs (2010). Sejak mengetahui manfaat menciptakan bisnis sosial itu sangatlah besar—bukan saja manfaat bagi masyarakat yang menjadi kelompok sasaran, melainkan juga bagi perkembangan pengetahuan perusahaan, yang kemudian ditransfer menjadi keahlian baru dalam berbisnis—Franck Riboud seakan ketagihan. Di tahun 2009, ia menciptakan kendaraan khusus bagi inisiatif serupa yang dinamakan Danone Ecosysteme Fund.

Perusahaan manapun bisa mengambil pelajaran dari cerita Grameen Danone itu. Bisnis sosial sangatlah baik dalam memecahkan beragam persoalan di masyarakat, karena menggabungkan sifat-sifat terbaik dari perusahaan dan organisasi masyarakat sipil. Kalau banyak perusahaan telah mendirikan yayasan sebagai kendaraan untuk menjalankan beragam inisiatif CSR-nya, kini alternatif yang lain—yang sangat mungkin lebih baik—juga ada: membangun bisnis sosial. Eksperimen ini sangatlah menarik, dan patut dijalankan oleh perusahaan-perusahaan yang sungguh-sungguh ingin memecahkan masalah spesifik di masyarakat dan memastikan kemandirian keuangan dalam pemecahan masalah itu.


Sumber:

Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tangal 25 Februari 2016

Penulis: Wahyu Aris Darmono dan Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)