Donald Trump tak henti menghentak dunia. Bukan dalam pengertian yang positif, sayangnya. Setiap tindakannya mencerminkan ketertutupan dan kemunduran peradaban. Yang paling mutakhir adalah keputusannya untuk menarik diri dari Kesepakatan Paris yang disepakati oleh seluruh negara—kecuali Suriah dan Nikaragua—di dunia ini. Kini, Amerika Serikat menjadi negara ketiga yang tidak menyepakatinya.

Ketika seluruh komitmen sukarela negara-negara, yang diwujudkan di dalam dokumen nationally determined contribution (NDC) yang disetorkan ke UNFCCC, dihitung dengan cermat, hasilnya belum menggembirakan. Ketika AS masih menyatakan komitmennya pun sesungguhnya dunia masih ada di luar batas aman 2 derajat Celsius, yaitu sekitar 2,7. Kini, dengan AS menarik diri, maka diperkirakan akan ada kenaikan 0,3 derajat lagi.

Namun, itu dihitung kalau AS memang tidak memenuhi komitmennya. Yang kita semua saksikan sesungguhnya tidak demikian. Trump mendapatkan kecaman keras dari banyak warga, kota, negara bagian, dan perusahaan di AS. Mereka menyatakan akan melawan keputusan sepihak presidennya. Bahkan, sebelum Trump mengambil keputusan, ratusan CEO perusahaan sudah mengirimkan surat untuk mendukung AS tetap berada di dalam kesepakatan.

Hasilnya kita semua tahu. Trump tetap bergeming dengan pendiriannya. Beberapa tahun yang lampau salah satu kicauannya di media sosial memang mengungkap bahwa dia tidak percaya kepada perubahan iklim, terutama pemanasan global antropogenik. Dia menganggap perubahan iklim hanyalah hoax, yang dibuat Tiongkok untuk merugikan ekonomi AS. Trump tampak sekali tak paham ilmu pengetahuan mutakhir dan adalah seorang pendusta perubahan iklim.

Syukurlah, banyak pihak di AS sendiri yang melawannya. Baik di dalam maupun luar AS, kini banyak sekali pihak yang malahan menjadi lebih kuat komitmennya untuk menangani peruabahan iklim. Penguatan komitmen ini jelas menjadi peluang bagi bisnis sosial yang ingin turut melakukan bisnisnya seputar pemecahan masalah terkait perubahan iklim.

Yang pertama bisa dilakukan adalah melihat terlebih dahulu apa saja dampak operasi perusahaan terhadap perubahan iklim. Ini terutama berarti berapa banyak gas rumah kaca yang diproduksi lantaran keputusan dan operasinya. Asal dari emisi tersebut bisa dari penggunaan energi secara langsung maupun tidak langsung—termasuk penggunaan listrik—pembukaan hutan dan lahan, dan sebagainya. Seluruh jenis dan asal emisi harus dipetakan, dan dengan detail diketahui jumlahnya.

Kedua, mencari tahu upaya mitigasi emisi apa saja yang bisa dilakukan. Setelah seluruhnya diketahui dengan detail, maka perusahaan akan tahu berapa emisi gas rumah kaca yang bisa dihilangkan dari operasinya. Mereka juga akan bisa mengetahui sisa emisinya bila seluruh upaya mitigasi itu dilakukan.

Penurunan emisi yang terkait dengan energi biasanya pertama-tama diperoleh dengan peningkatan efisiensi energi. Namun, bila hendak lebih jauh lagi, maka perusahaan bisa melakukan tindakan efikasi energi, yaitu dengan mengganti jenis energi yang dipergunakan menjadi energi bersih dan terbarukan. Maka, pemanfaatan energi angin, air, surya, dan geotermal menjadi sangat penting untuk didorong. Tetapi juga penting untuk diperhatikan bagaimana menurunkan emisi dari hal-hal di luar penggunaan energi, seperti pembukaan hutan dan lahan.

Sampai seluruh energi berasal dari energi baru dan terbarukan dan praktik-praktik lainnya bersih dari emisi gas rumah kaca, jelas akan ada emisi residual. Ini membuat perusahaan perlu membayar ‘dosa karbon’ dengan carbon offset. Aktivitas ini bisa dilakukan secara langsung, misalnya dengan menanam pohon yang bisa menyerap seluruh emisi residual itu. Atau, membeli reduksi emisi tersertifikasi yang telah dilakukan oleh pihak lain.

Yang terakhir, perusahaan juga perlu untuk melakukan berbagai tindakan adaptasi terhadap perubahan iklim. Bagaimanapun, perubahan iklim telah terjadi dan dampaknya sudah dirasakan. Maka, perusahaan perlu melakukan adaptasi yang bisa menyelamatkan bisnisnya sendiri. Lebih jauh, perusahaan bisa membantu masyarakat juga dalam beradaptasi. Bagaimanapun, masyarakat itu bisa berada di dekat operasi perusahaan, bisa menjadi pekerja perusahaan atau konsumennya.Membantu mereka jelas sangat beralasan.

Bisnis sosial yang cerdas akan bisa melihat segudang peluang bisnis dari mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Mulai dari menurunkan penggunaan energi, meningkatkan efisiensinya, mengganti sumber-sumber energi menjadi bersih dan terbarukan, dan membantu melakukan carbon offset dan adaptasi. Begitu kesadaran pengelolaan perubahan iklim menguat, peluang bisnis ini akan semakin besar.


Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 8 Juni 2017.

Penulis: Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)