Perusahaan-perusahaan di manapun kini mengenal tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR. Tak ada perusahaan baik yang tak memiliki aspirasi menjadi terkenal karena CSR-nya. Menjadi perusahaan yang bertanggung jawab sosial sangatlah penting, karena bisa menghasilkan keuntungan operasional, reputasional, hingga komersial.

Dalam anak tangga CSR, perusahaan yang menjalankan bisnis sosial (perusahaan sosial) adalah yang tertinggi. Namun, tak semua perusahaan ingin duduk di anak tangga tertinggi itu. Majoritas perusahaan komersial tidak hendak mentransformasikan diri menjadi perusahaan sosial. Namun, hal itu tidak menghilangkan keinginan kuat mereka untuk belajar dari model bisnis sosial.

Salah satu perusahaan sosial yang paling awal dan paling terkenal, The Body Shop, memulai banyak sekali hal positif dalam bisnis kosmetika. Ketika seluruh perusahaan kosmetika berlomba-lomba menampilkan produknya yang bisa mengatrol kecantikan—dan, pada skala yang jauh lebih kecil, ketampanan—para konsumennya, The Body Shop memerkenalkan diri dengan cara yang sama sekali berbeda.

Menurut Dame Anita Roddick, pendirinya, percobaan kosmetik pada hewan merupakan bentuk kekejaman. Padahal, ketika itu, seluruh perusahaan kosmetik melakukannya. The Body Shop meluncurkan gerakan against animal testing. Dame Roddick juga dengan sangat kuat membela pendekatan perdagangan yang adil atau fair trade dengan para petani yang menjadi pemasoknya. Kini, hampir seluruh perusahaan kosmetik—dan banyak perusahaan di sektor lainnya—mencontoh beragam nilai yang dianut The Body Shop.

Di kampus Massachusetts Institute of Technology, Nicholas Negroponte membuat bisnis sosial terkenal di Media Lab yang ia pimpin. Projek One Laptop Per Child yang digagasnya banyak dianggap orang sebagai visi yang mustahil dicapai. Ketika itu, harga komputer jinjing ada pada kisaran USD4000, dan Negroponte menginginkan membuatnya menjadi USD100 saja. Hal ini dikarenakan Negroponte ingin melihat anak-anak di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang bisa mendapatkan pendidikan melalui perantaraan kemajuan teknologi informasi.

Negroponte ‘gagal’, karena akhirnya harga terendah yang bisa diraihnya adalah USD150. Tapi, anak-anak dari seluruh bagian dunia, terutama di Afrika, kemudian menjadi bisa belajar seperti dalam visinya. Bukan saja berhasil merevolusi pendidikan di seluruh dunia, ia juga berhasil membuat seluruh industri komputer menurunkan biaya produksinya. Era komputer dengan harga terjangkaupun muncul, lantaran sebuah bisnis sosial nekat memerjuangkan visinya yang tadinya dipandang tak masuk akal.

Perbankan di seluruh dunia juga terguncang hebat lantaran Muhammad Yunus bisa membuat lembaga keuangan komersial yang melayani kelompok-kelompok miskin. Sebelum Yunus, tak ada bank yang berani meminjamkan uang kepada kelompok miskin, lantaran kelompok miskin tak memiliki jaminan yang dapat diambil kalau mereka gagal membayar cicilan. Buat Yunus, ketidakmampuan menyediakan kolateral itu bukanlah gambaran potensi bisnis di masa mendatang.

Karenanya, Yunus kemudian memerkenalkan Grameen Bank, yang bukan sekadar memberikan akses kredit kepada yang tak memiliki kolateral, namun juga memberikan pendampingan manajemen kepada para peminjam tersebut. Apa yang kemudian terjadi, kita semua tahu, sangatlah mencengangkan. Tingkat kredit macet dari Grameen Bank adalah di antara yang terendah yang pernah dicatat dalam sejarah perbankan. Orang-orang miskin, terutama kaum perempuannya, adalah pencicil yang lebih bertanggung dibandingkan para peminjam yang kaya. Gerakan kredit mikro pun meluncur di seluruh dunia.

The Body Shop, Media Lab, dan Grameen Bank hanyalah segelintir contoh dari kesuksesan bisnis sosial, yang kemudian diteladani oleh bisnis sosial lainnya, maupun—dalam skala yang jauh lebih luas—oleh bisnis komersial. Lantaran kegigihannya dalam memberi manfaat kepada masyarakat lewat mekanisme pasar yang juga menjamin keberlanjutan bisnis, bisnis sosial memang layak dijadikan inspirasi. Dan, itulah yang sekarang banyak terjadi di seluruh dunia. Bukan hanya pada tingkat projek dan program CSR, melainkan juga pada cara perusahaan berbisnis.


Sumber:

Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 24 Maret 2016.

Penulis : Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)