Sumber gambar : PergiKuliner

Baso A Fung, Komitmen Halal - Permasalahan status Halal tak pernah luput dari sorotan khalayak ramai. Baru-baru ini, selebgram Jovi Adhiguna jadi topik pembicaraan lantaran mengonsumsi semangkuk bakso yang dicampur dengan kerupuk babi saat berada di Bandara I Ngurah Rai. Kegiatan ini terekam dalam sebuah video yang diunggah di aplikasi TikTok pada Rabu (19/7) lalu. Setelah hidangan diantarkan, Jovi nampak membuka sebungkus kerupuk babi dan menuangkannya ke dalam bakso. Kurang dari 24 jam, video makan-makan tersebut sudah mencapai status viral.

Aksi ini sukses membuat Jovi dirujak kaum muslimin dan muslimah setanah air. Nasibnya sial, sebab restoran bakso tempatnya makan, Baso A Fung, sudah lama mengklaim produk-produknya dengan label Halal. Perilaku Jovi mengundang hujatan dan kecurigaan khalayak bahwa Baso A Fung turut menyediakan kerupuk dari bahan baku haram sebagai pendamping menu. Reputasi restoran ini di ujung tanduk.

Buntutnya, pihak Baso A Fung membuang dan menghancurkan semua peralatan yang mereka punya—termasuk yang digunakan Jovi—di outlet Bandara I Ngurah Rai. Perlukah tindakan yang begitu dramatis dilakukan? Seberapa penting komitmen sebuah restoran akan status dan sertifikasi Halal di mata hukum dan masyarakat Indonesia?


Masyarakat Indonesia dan Pentingnya Status Halal

Kejadian di atas bukanlah yang pertama dan nampaknya, tak akan jadi yang terakhir di Indonesia. Sebelumnya, masyarakat sempat dihebohkan oleh adanya warung masakan padang di Jakarta yang menjual rendang berbahan daging babi. Warung yang dengan cukup optimis diberi nama Babi Ambo ini mengaku sudah lama beroperasi dan bahkan sudah gulung tikar saat hidangannya diviralkan seorang ustadz.

Tidak bisa tidak, warga Indonesia yang sudah terlanjur mengaitkan istilah Minang dengan ajaran Islam yang kuat, melemparkan makian dan prasangka di media sosial. Profesor Gusti Anan, budayawan Minang dari Universitas Andalas mewajarkan sikap reaktif masyarakat yang muncul atas keberadaan warung makan non-halal tadi. Menurutnya, hal ini bahkan merupakan penghinaan pada adat dan budaya Minang yang menjunjung tinggi syariat Islam.

Tahun lalu, sejumlah brand seperti Mie Gacoan dan Mixue, turut dipertanyakan kehalalannya. Sebelumnya, kedua perusahaan ini sudah viral dan ribuan orang berbondong-bondong ingin mencoba produk mereka. Namun, setelah isu tersebut muncul, jumlah pengunjung turun cukup drastis dan baru bisa pulih saat Sertifikat Halal mereka dikeluarkan oleh MUI.

Kasus Baso A Fung bisa saja mengalami nasib yang sama. Beruntung, kedua belah pihak yang terlibat bertindak cepat. Jovi mengunggah permintaan maafnya kepada restoran Baso A Fung dan menggelar klarifikasi bahwa kerupuk yang diributkan tidak diproduksi atau dihidangkan oleh restoran tersebut. Pihak manajemen Baso A Fung, melalui video yang diunggah pada akun Instagram mereka, nampak mengepak semua peralatan makan di outlet Bandara I Ngurah Rai untuk kemudian dihancurkan. Hal ini, beserta permohonan maaf mereka dan rasa bakso yang memang sudah enak sejak awal, berhasil memulihkan citra Baso A Fung di hadapan konsumennya.


Komitmen Halal di Mata Hukum dan Konsumen Muslim

Apa yang dilakukan oleh manajemen Baso A Fung adalah bukti nyata dari pentingnya sertifikat dan status Halal di mata masyarakat negara ini. Di tahun 2021, tercatat sebanyak 231 juta penduduk Indonesia menganut agama Islam. Artinya, dalam ceruk pasar yang dihadirkan untuk industri makanan dan minuman, porsi terbesarnya adalah kaum muslimin. Bagi mereka, tak ada yang lebih penting dari kehalalan suatu hidangan.

Istilah Halalan thayyiban, mengacu pada segala jenis makanan serta minuman yang boleh dikonsumsi, berlaku sesuai dengan yang ditentukan oleh syariat agama Islam. Halal berarti tidak dilarang oleh syariat, sementara thayyib berarti baik. Tak cuma dari segi bahan baku, makanan dan minuman yang diproduksi harus baik dari segi proses produksi, pengemasan, hingga sampai di tangan konsumen. Sebab itu, Sertifikat Halal kemudian menjadi selembar kertas suci yang harus dimiliki setiap pebisnis restoran di Indonesia.

Besarnya ceruk pasar yang mendambakan kata Halal tersebut, merupakan alasan utama manajemen Baso A Fung bertindak dramatis. Mereka melakukannya untuk mengabarkan kepada masyarakat bahwa Baso A Fung punya komitmen besar dalam menjaga kehalalan setiap porsi bakso mereka. Melalui hal ini, restoran yang sudah beroperasi sejak tahun 1973 tersebut berhasil menjaga reputasi sekaligus kepercayaan konsumen setia.

Sementara dari segi hukum, tindakan manajemen Bakso A Fung termasuk patut diacungi jempol. Apa yang mereka lakukan sudah sesuai dengan aturan dalam Manual Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), bahwa :

Setiap pelaku usaha yang bisnisnya sudah tersertifikasi Halal, wajib menjaga komitmen Halal dengan menjaga dan memastikan seluruh alat proses produksi halal, tetap bersih, dan higienis, bebas dari najis, dan bahan tidak halal.”

Artinya, penggunaan alat makan untuk mengonsumsi makanan non-halal bertentangan dengan manual tersebut. Manajemen Baso A Fung menerapkan aturan tadi dengan langsung menyingkirkan semua peralatan makan yang punya kemungkinan sudah dinodai oleh kerupuk babi yang dibawa Jovi. Mereka paham betul, bahwa piring dan mangkuk bisa dengan mudah diganti, namun tak begitu dengan reputasi.

Referensi :

  1. https://food.detik.com/info-kuliner/d-4821255/dari-tous-les-jours-sampai-dcost-ini-5-kasus-halal-yang-jadi-sorotan/5
  2. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230720124816-92-975602/baso-a-fung-hancurkan-alat-makan-usai-influencer-makan-kerupuk-babi
  3. https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-61786335
  4. https://news.republika.co.id/berita/rhmagu318/mie-gacoan-sudah-viral-ternyata-belum-sertifikasi-halal
  5. https://magdalene.co/story/kasus-rendang-babiambo-kenapa-kita-mabuk-dan-zina-tapi-tolak-makan-babi/
  6. PDF Manual Sistem Jaminan Produk Halal BPJPH