[Review Kebijakan - ukmindonesia.id] Pak Ilyas adalah pemilik beberapa tambak udang dengan kinerja penjualan sekitar delapan miliar per tahun. Ia telah mendapatkan akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebanyak dua siklus, namun Ia mengaku tidak ingin mengembangkan usahanya jadi lebih besar lagi karena enggan terdeteksi pajak. Selama ini, ia cuma punya kartu NPWP, tapi tak pernah setor pajak.

Di sisi lain, bisnis Bu Sulis semakin ramai. Omset kuenya naik dari Rp5 juta ke Rp15 juta per bulan. Beberapa bank menawarkannya pinjaman, namun Ia takut mengambilnya. Ia ragu dengan potensi bisnisnya, karena ia belum tahu persis berapa keuntungannya. Walau omset naik, tabungannya tak kunjung bertambah. Entah kemana saja dana hasil penjualannya terpakai. Jadi Ia masih ingin tingkatkan omset dengan promosi digital dan belajar hitung laba dengan lebih akurat. Namun Ia tak tahu caranya, dan bingung mulai dari mana.

Stagnasi Struktur UMKM Nasional Wujud Efektivitas Program dan Kebijakan

Dua kasus ini adalah cerminan praktik bisnis pelaku UMKM Indonesia pada 20 tahun lalu, dan, saat ini. Setelah ratusan triliun anggaran untuk puluhan program di setidaknya 21 Kementerian/Lembaga (K/L) dalam sepuluh tahun terakhir, dampak nyatanya tampak belum signifikan.

Secara makro, pelaku UMKM mewakili 99,99% dari total unit usaha di Indonesia, dimana 99.6% merupakan pelaku Usaha Mikro (Kemenkop UKM RI, 2021). Porsi jumlah usaha berskala besar stagnan di angka 0,01% - artinya, hanya 1 dari 10.000 unit usaha yang berhasil naik kelas sampai Usaha Besar. Rasio jumlah Usaha Besar di negara yang lebih maju relatif lebih tinggi, seperti di Uni Eropa (0,2%), Jepang (0,3%) dan Tiongkok (0,4%).

Untuk menyamakan rasio dengan Uni Eropa saja, kita harusnya punya 130 ribu Usaha Besar. Data Kemenkop UKM RI (2019) memproyeksikan ada sekitar 5600 unit Usaha Besar. Artinya, Indonesia perlu memberdayakan sekitar 124 ribu UMKM agar bisa naik kelas menjadi usaha besar baru.

Jika merujuk pada PP No.7/2021, UMKM didefinisikan sebagai usaha dengan batas atas omset Rp50 miliar per tahun. Padahal perkiraan rata-rata omzet UMKM saat ini hanya di sekitar Rp147 juta per tahun, karena memang, sekitar 99% dari UMKM adalah Usaha Ultra Mikro. Bagaimana strategi mencetak 124 ribu Usaha Besar baru?

Perlunya Pendampingan Non-Seremonial dan Terstruktur

Sejak 2010, APBN telah menghabiskan sekitar Rp120 triliun untuk membayar premi penjaminan kredit dan subsidi bunga program KUR. Lalu, terdapat anggaran sekitar Rp6 triliun per tahun untuk program-program pelatihan, hibah, workshop, sertifikasi, pameran, dan lainnya oleh berbagai K/L (TNP2K, 2020). NGO serta CSR BUMN dan korporasi juga urun bantu melakukan program serupa. Dengan dukungan yang begitu besar, mengapa UMKM kita seakan stunting karena mentok di skala mikro dan sulit naik kelas?

Studi UKMIndonesia.id - LPEM FEB UI yang didukung oleh BRI (2019-2020) mencoba menyusun parameter UMKM “Naik Kelas”, menyusun kurikulum pendampingannya, dan menghasilkan Indeks UMKM Naik Kelas. Dengan rentang nilai 0-10, indeks ini dibangun dari 12 aspek kewirausahaan seperti skala, pola pikir, kepemimpinan, budaya inovasi, pemasaran, operasional, keuangan, SDM, legalitas dan kepatuhan, pemahaman industri dan persaingan pasar, rantai pasok, dan kepedulian sosial lingkungan. Nilai indeks tersebut kemudian dibagi ke dalam 9 kategori kelas dari Tradisional sampai Modern Teladan.

Hasil uji coba ke lebih dari 3700 UMKM menunjukkan bahwa sebagian besar tergolong di kelas Berkembang (rentang nilai indeks 3.21 - 4.26) dan Tradisional Teladan (2.17 - 3.21). Studi ini juga menemukan pola bahwa peluang “naik kelas” dari Usaha Mikro ke Kecil dapat meningkat signifikan ketika sebuah usaha mencapai kelas Berkembang Utama (skor 4,26 – 5.30), sementara untuk Usaha Kecil ke Menengah di kelas Modern Utama (skor 7.39 – 8.43).

Studi ini mengestimasi bahwa untuk naik dari kategori kelas Tradisional ke Berkembang, pelaku usaha perlu meningkatkan kompetensi kewirausahaannya minimal terkait 27 tema pelatihan/workshop praktis mencakup 12 aspek kewirausahaan di atas. Sementara untuk naik dari kelas Berkembang ke Modern dibutuhkan 29 tema tambahan.

Jadi dapat disimpulkan, bahwa acara pelatihan singkat, webinar, kunjungan lapangan, atau seremonial lainnya belum layak disebut sebagai program pendampingan. Pendampingan setidaknya mencakup workshop praktis untuk memfasilitasi kebutuhan tanya jawab dan konsultasi bagi peserta yang kebingungan saat mempraktikkan pengetahuan barunya, serta dilengkapi pemantauan dan evaluasi berkelanjutan.

Agar para pemangku kepentingan lebih mudah membagi area fokus untuk saling mengisi dan kolaborasi, pendampingan dapat dikemas secara tematik per lokasi. Misalnya organisasi A fokus di pendampingan digital di Kota A, organisasi B pendampingan keuangan di Kota A, dan organisasi C pendampingan digital di Kota B.

Urgensi Alokasi Sumber Daya untuk Pendampingan

UMKM senantiasa digaungkan sebagai tulang punggung perekonomian. Tapi apakah kita sudah mengerahkan perhatian dan dukungan yang memadai? Dokumen roadmap pendampingan dan basis data UMKM yang lengkap dan terintegrasi saja kita tidak punya.

Tanpa pendampingan terstruktur, penghindar pajak seperti Pak Ilyas akan tetap bisa menikmati subsidi. Di sisi lain, Bu Sulis yang haus belajar dan punya semangat tumbuh akan tetap menghadapi resiko stagnasi usaha yang tinggi karena bingung menyusun langkah ekspansi.

Kebijakan intervensi harga berupa subsidi bunga KUR juga tak terbukti efektif mengakselerasi inklusi keuangan bagi UMKM. Proporsi kredit perbankan untuk UMKM tetap anteng di sekitar 20 persen, karena KUR banyak dinikmati nasabah lama yang mengejar bunga murah dan menyempitkan peluang inklusi UMKM non-bankable.

Jika untuk menyalurkan KUR dengan plafon Rp285 triliun dan agar bunganya 6% pemerintah subsidi sekitar 5%, maka estimasi anggaran subsidi KUR pada 2021 adalah sekitar Rp14 triliun. ketika rata-rata produktivitas tak kunjung meningkat signifikan, inklusi akses modal juga tetap mandeg, dan penyadaran kepatuhan pajak pun tidak terjadi, bukankah subsidi bunga ini seperti membakar uang? Bagaimana alokasi yang lebih baik?

Perlunya Investasi Pengembangan Fasilitator untuk Pendampingan yang Terstruktur dan Berkelanjutan

Jika pendampingan bisa tingkatkan peluang sukses naik kelas jadi Usaha Besar dari 0,01% menjadi 1%, maka untuk cetak 124,000 Usaha Besar baru kita perlu dampingi sekitar 12 juta UMKM. Dengan asumsi rasio 1:200, maka kita perlu mencetak setidaknya 60.000 fasilitator kewirausahaan. Jika gaji fasilitator Rp8 juta per bulan; maka dalam 1 tahun hanya dibutuhkan anggaran sekitar Rp5,76 triliun. Selisih Rp8,24 triliun dapat tetap dimanfaatkan untuk “reimburse” subsidi bunga dan/atau fasilitasi sertifikasi, bagi peserta pendampingan yang terbukti melakukan perbaikan sesuai indikator naik kelas yang ditentukan.

Sejak 1950an, Korea Selatan melatih 30.000 fasilitator dengan muatan konten setara 100 jam sesi pembelajaran untuk mendampingi 1.6 juta petani. Hasilnya, kini Korea Selatan memiliki konglomerasi sosial berbasis Ko(o)perasi, yaitu National Agricultural Cooperative Federation yang menjadi salah satu kekuatan grup keuangan terbesar dengan nilai kelolaan aset lebih dari Rp4100 triliun (2014). Sekedar informasi, nilai ini setara sekitar 1.5 kali lipat dari APBN Republik Indonesia 2021.

Orkestrasi pemberdayaan efektif perlu investasi pendampingan yang terstruktur, berkelanjutan, dan dilengkapi dengan sistem basis data yang mantap untuk monitoring dan evaluasinya.

Rasanya sudah terlalu lama kita memunggungi tulang punggung perekonomian kita sendiri. Mari stop jadikan UMKM sebagai objek pencitraan, dan mulai investasi untuk pendampingan sekarang. Hambatan mewujudkan pendampingan bukanlah keterbatasan anggaran, tapi ketiadaan keberpihakan dan kewarasan kebijakan. Bukankah kita semua mendambakan terwujudnya Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia?

----------------------------------

*) Artikel ini merupakan versi non-edited dari Artikel "Akselerasi UMKM Naik Kelas dengan Pendampingan" yang dimuat di Koran Kontan pada 17 Juni 2022.