Pernah mendengar istilah 3F yang merupakan singkatan dari Friends, Family and Fools atau dalam Bahasa Indonesia adalah TKP (Teman, Keluarga dan Penipu)?
Baca Juga: Ragam Akses Modal Pinjaman Berdasarkan Lembaga Penyalur
Bagi pelaku usaha sebenarnya sering bersinggungan dengan istilah tersebut meskipun kadang banyak yang tidak menyadarinya. Yup jadi 3F atau TKP adalah pihak – pihak yang sering kita mintai dana ketika akan membuka usaha dan tujuan pemanfaatan lainnya. Kebanyakan dari pelaku usaha memang menggunakan modalnya sendiri tetapi banyak yang mencari modal dari teman, keluarga atau penipu. Teman menjadi prioritas utama karena teman dianggap merupakan individu – individu yang memiliki visi yang sama sehingga akan mudah memahami kebutuhan modal yang diperlukan ketika memulai usaha. Keluarga adalah pihak setelah teman untuk mendapatkan modal karena dipercaya akan memberikan dukungan terhadap setiap keputusan yang diambil namun terkadang banyak dari pelaku usaha merasa malu jika meminjam uang dari keluarga. Pihak terakhir yang akan didatangi adalah siapa pun yang dapat mendapatkan modal secara cepat dan biasanya pihak ini memanfaatkan keadaan untuk mendapatkan untung yang besar. Pihak ini adalah penipu tapi bersembunyi di balik topeng menyediakan dana cepat seperti rentenir atau bank keliling dengan mengenakan bunga setinggi – tingginya.
Dengan jumlah pelaku usaha dari level mikro, kecil dan menengah yang mencapai 64 juta pelaku usaha maka UMKM Indonesia menjadi pangsa pasar yang potensial untuk pengembangan jasa keuangan baik yang legal maupun ilegal. Untuk mengurangi dampak negatif dan menjamurnya kelompok Fools atau Penipu di dalam jasa keuangan di Indonesia, maka dibentuklah sebuah badan pengawas dan pengatur lembaga keuangan yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK tidak hanya mengatur lembaga keuangan konvensional tetapi juga digital di era serba industri 4.0 seperti sekarang ini. OJK pun menyadari bahwa di era disrupsi seperti sekarang ini, banyak inovasi jasa keuangan hadir. Saat ini, akses modal tidak hanya berbentuk pinjaman biasa tetapi juga pembiayaan berdasarkan asas tujuan pemanfaatan dana yang diberikan.
Baca Juga: Tips Mencari dan Mendapatkan
Modal Usaha
Dalam artikel ini akan dibahas mengenai apa saja sih akses modal yang bisa diperoleh berdasarkan tujuan pemanfaatan. Sebelum memberikan informasi mengenai apa saja bentuk pembiayaan yang bisa diakses, maka perlu diberikan penjelasan mengenai lembaga pembiayaan dan siapa saja yang ada di dalamnya.
Berdasarkan definisi yang ada di di dalam Peraturan OJK Nomor 29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan disebutkan bahwa:
Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. Jadi, lembaga pembiayaan tidak hanya dapat memberikan bantuan uang tetapi juga barang modal atau barang yang dapat dimanfaatkan penggunaannya dalam melakukan produksi contohnya mesin. Lembaga pembiayaan terdiri dari:
Baca Juga: Mengenal Pendanaan Hibah
Kita tidak akan membahas lembaga pembiayaan lebih dalam, tetapi akan membahas contoh-contoh produk akses modal berdasarkan tujuan pemanfaatan yang bisa diakses bagi pelaku UKM yang dibahas selanjutnya.
Baca Juga: Apa itu Angel Investor?
Supply Chain Financing atau lebih dikenal dengan singkatan SCF merupakan pembiayaan yang fokus pada supply chain atau rantai pasokan produk di mana membiayai pembelian barang dari distributor, reseller, retailer, supplier, perusahaan logistik, hingga perusahaan pengerjaan produksi (manufacturer). SCF memiliki tujuan untuk memberikan nilai tambah bagi setiap rantai pasokan produk sehingga menghasilkan keuntungan yang maksimal bagi pengusaha.
Selain itu, SCF menjaga seluruh komponen dalam proses produksi hingga penjualan terjamin keberlangsungannya dan membuat pelaku usaha menghasilkan keuntungan yang berkelanjutan pula. Contohnya seperti usaha makanan yang dibiayai pembelian barangnya dari 2 distributor dan 3 supplier, maka lembaga pembiayaan memiliki kesempatan untuk memberikan pembiayaan tidak hanya kepada usaha makanan tersebut, tapi juga kepada 2 distributor dan 3 supplier nya.
Baca Juga: Tips Memulai Bisnis Dengan Modal
Minim
Skema SCF adalah pembiayaan dari lembaga pembiayaan dengan menggunakan jaminan berupa kontrak kerja/faktur/Delivery Order (DO) dari pihak yang membuat perjanjian kepada pelaku usaha yang mengajukan SCF. Sebagai contoh yang ada di beberapa lembaga pembiayaan terlihat di bawah ini.
Informasi | BRI | Bank SInarmas | Bank DBS Indonesia |
Nilai PInjaman | Rp 100 juta s.d. Rp 50 miliar | 100% dari nilai pembelian barang (nominal order) s.d. 2 kali nilai pembelian per bulan (rata – rata belanja) | 100% dari nilai pembelian barang (nominal order) |
Jaminan | Kontrak Kerja/ Faktur (Invoice)/ Delivery Order (Bukti Kirim) | Kontrak Kerja/ Faktur (Invoice) | Kontrak Kerja/ Faktur (Invoice) |
Jangka Waktu Pinjaman | 30 hari s.d. 1 tahun | 12 bulan (per 1 tahun diperbaharui) | Pada saat invoice jatuh tempo |
Persyaratan Pengajuan |
|
| Dokumen terkait Kontrak Kerja/Faktur (Invoice) |
Saluran Informasi | 14017 | 1500153 | https://www.dbs.id/id/corporate-id/trade/other-trade-products/supply-chain-financing |
Pembiayaan jangka pendek yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan untuk membiayai pelaku usaha dengan jaminan bukti tagih (faktur atau invoice) dari pelanggan yang memiliki reputasi baik. Jika SCF memberikan pembiayaan untuk pihak yang berkaitan pada proses produksi atau pembelian barang dan jasa dari supplier maka invoice financing memberikan pembiayaan untuk pesanan dari pelanggan. Pelaku usaha yang membutuhkan pembiayaan untuk mengerjakan orderan yang sudah diterbitkan jaminan bukti tagihnya. Hal ini dilakukan untuk dapat mengerjakan proses produksi meskipun belum menerima pembayaran penuh atas produk yang dihasilkan.
Baca Juga: Pengertian Modal Ventura
Invoice Financing sudah mulai banyak diberikan, termasuk platform digital seperti Investree. Berikut beberapa contoh lembaga pembiayaan yang menyediakan produk Invoice Financing.
Aspek | Investree | Maybank | Akseleran | Bank Mandiri |
Nilai Pinjaman | Maksimal Rp 2 Miliar atau USD 138,000 | Informasi melalui teller | Tergantung nilai faktur | Tergantung nilai faktur |
Batas Pinjaman | 80% dari nilai faktur | Informasi melalui teller | 80% dari nilai faktur | 100% dari nilai faktur |
Tenor (Lama Pinjaman) | 30 – 180 hari Tergantung jatuh tempo invoice | Saat invoice jatuh tempo | 3 – 6 bulan | Tergantung nilai faktur |
Rata – Rata PInjaman | Rp 620 Juta | Informasi melalui teller | - | - |
Saluran Informasi | Teller cabang terdekat |
Invoice financing lebih banyak disediakan oleh fintech lending atau peer to peer lending dibandingkan perbankan konvensional. Hal ini dikarenakan invoice financing memiliki risiko tinggi misalnya pelanggan tidak membayar tagihan atau produksi gagal di tengah jalan meskipun ada bukti tagih. Faktor risiko menjadi pertimbangan di mana bunga dari pembiayaan kadang lebih tinggi. Di perbankan juga tidak familiar menggunakan invoice financing misalnya BRI yang memasukkan produk layanan ini ke dalam SCF dan Bank Mandiri dengan nama fasilitas Surat Berkredit Dalam Negeri (SKBDN).
Baca Juga: Pembiayaan Ultra Mikro
Selain pembiayaan yang menggunakan jaminan bukti tagih, pembiayaan lainnya yang tidak kalah menarik untuk dibahas adalah project financing. Project financing adalah pembiayaan jangka panjang untuk sebuah proyek usaha baik pembiayaan infrastruktur, industri dengan skema struktur finansial terbatas. Di Indonesia, project financing kebanyakan menyentuh sektor agrikultur di mana dana didapatkan menggunakan skema crowdfunding yang kemudian dijadikan modal usaha dan para pemberi dana mendapatkan bagi hasil dari usaha tersebut.
Salah satu penyedia layanan project financing adalah platform Infishta di mana menyediakan pembiayaan bagi pelaku usaha di bidang perikanan di seluruh wilayah Indonesia dengan skema crowdfunding (patungan) menggunakan ukuran lot seperti saham (1 lot = 100 lembar). Bagi hasil dari setiap proyek usaha yang didanai adalah berkisar antara 10 – 20% per tahun. Platform lain yang juga menyediakan layanan serupa adalah iGrow di mana melayani pembiayaan untuk seluruh sektor agrikultur tidak terbatas hanya dari hasil perikanan dengan skema yang sama dengan Infishta. Setelah melakukan wawancara dengan pihak Infishta yang diwakili oleh Bapak Ageng (Divisi Pemasaran), sejatinya pembiyaan yang dilakukan Infishta dan iGrow merupakan pembiayaan yang belum ada perbankan konvensional yang melakukan. Bahkan, pihak Infishta pernah melakukan kerjasama dengan Bank Mandiri karena Bank Mandiri tidak menggarap sektor yang digarap dan skema seperti yang ditawarkan oleh Infishta dikarenakan risiko yang tinggi.
Baca Juga: Sistem Informasi Debitur dan Sistem Layanan Informasi Keuangan OJKMungkin banyak pelaku usaha yang sering mendengar istilah leasing dan bahkan sering ditawari brosur – brosur promosinya. Leasing berasal dari kata lease yang berarti sewa. Leasing merupakan pembiayaan dalam bentuk penyediaan peralatan atau barang modal yang digunakan dalam produksi dengan skema berupa sewa guna usaha dengan hak opsi (dapat melakukan opsi mengalihkan sewa guna) atau skema sewa guna usaha tanpa hak opsi (hanya dapat digunakan untuk produksi). Pembiayaan leasing bisa didapatkan dari semua lembaga leasing yang telah terdaftar. Skema dan tarif yang ditawarkan oleh lembaga leasing semuanya hampir mirip tetapi yang paling penting adalah lembaga leasing yang dipilih harus terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Contoh lembaga leasing yang terkenal di Indonesia adalah Adira Finance, BCA Finance, BFI Finance, FIF dan lain – lain.
Property financing adalah fasilitas pembiayaan yang diberikan kepada pelaku usaha untuk melakukan pengadaan properti dengan tujuan komersial bisnisnya. Properti yang dimaksud adalah kios, warung, gudang penyimpanan, pabrik untuk produksi, bangunan untuk kantor dan kebutuhan properti lainnya yang menunjang jalannya bisnis. Dengan skema property financing maka pelaku usaha memiliki properti komersial sesuai kebutuhan dengan hanya membayar cicilan bulanan seperti seolah – olah membayar biaya sewa per bulannya. Berikut ini beberapa lembaga keuangan yang menyediakan layanan property financing.
Baca Juga: Jaminan (Collateral) Dalam
Akses Modal UMKM
Aspek | |||
Nama Produk Layanan | Commercial Property Financing | Business Property Loan | Home Suite |
Tenor | Maksimal 10 Tahun | Maksimal 20 tahun | Maksimal 10 tahun |
Properti yang DIbiayai | Kios, Warung (Toko), Gedung Perkantoran, Pabrik dan Gudang | Tidak Disebutkan Secara Terperinci | Commercial Property untuk bisnis |
Setelah melihat ulasan mengenai ragam akses modal berdasarkan manfaat maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya semua skema memiliki kelebihan dan kekurangan yang dapat dirangkum sebagai berikut:
Kelebihan | Kekurangan |
Tidak perlu menunggu pembayaran penuh dari pembeli | Tingkat suku bunga atau bagi hasil terkadang lebih tinggi dibandingkan dengan kredit konvensional |
Bukti tagih dapat dijadikan jaminan | Harus selektif dalam memilih pelanggan karena risiko gagal bayar faktur masih ada --> Tidak dapat mengambil orderan dari pembeli pemula |
Arus kas usaha dapat berjalan karena ada dana ketika ingin menjalankan produksi | |
Dapat melakukan ekspansi usaha dengan menerima lebih banyak permintaan tanpa perlu khawatir dana untuk melakukan produksi | |
Proses pencairan cepat mengingat jangka waktu faktur yang pendek pula |
Baca Juga: Modal Rakyat: Trik Mengelola
Utang untuk Pengembangan Usaha
jIka melihat poin – poin di atas, maka pembiayaan berdasarkan tujuan pemanfaatan menekankan adanya kepastian jaminan bahwa arus kas dari usaha aman meskipun melakukan produksi yang belum dibayar penuh. Dengan adanya pilihan pendanaan seperti ini maka pelaku usaha akan memiliki ruang untuk melakukan inovasi dan ekspansi usahanya. Kelebihan lainnya adalah pelaku usaha yang tidak memiliki aset tetap seperti tanah, bangunan atau kendaraan yang dapat dijadikan jaminan (agunan) ketika mengajukan pembiayaan tidak perlu khawatir akan pendanaan asalkan sudah memiliki bukti tagih. Hal ini membuat pembiayaan lebih cepat didapatkan dan akhirnya membuat usaha lebih cepat dalam melakukan proses produksi dan potensi ekspansi pun bisa diraih.
Namun, perlu diingat ada istilah high risk high return, di mana pemberi dana juga mempertimbangkan risiko yang mungkin muncul ketika memulai membiayai usaha sehingga untuk mengkompensasi risiko yang besar maka dikenakan bunga atau bagi hasil yang mungkin lebih tinggi. Risiko gagal bayar juga perlu dipertimbangkan dan akhirnya menyebabkan hanya pembeli yang punya reputasi dan sulit untuk membantu pembeli pemula. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saya pernah menanyakan hal ini kepada beberapa teman pelaku usaha dalam beberapa kesempatan dan jawaban mereka adalah:
Baca Juga: Tips Memilih Sumber Peer-to-Peer lending untuk Mendukung Rantai Pasok dan Arus Kas
“Selama order saya terjaga dan potensi cuan bisa didapatkan maka bunga tinggi dan risikonya pasti terbayar dengan hasil usaha yang baik pula. Toh, kita memulai usaha saja sebenarnya sudah memulai sesuatu yang high risk high return”
Dan teman saya ini pun mengambil salah satu bentuk pembiayaan untuk menyelesaikan ordernya dan akhirnya dia dapat berproduksi dengan jumlah lebih banyak. Namun, kadang penyuka tantangan dan risiko harus realistis karena niat dan semangat saja tidak cukup tanpa perhitungan dan aksi yang nyata. Jadi, pastikan keputusan mengambil pembiayaan sudah dipertimbangkan secara rasional dan sesuai dengan kondisi usaha.
Setelah mengulas mengenai ragam akses modal di atas, maka sebenarnya kita telah menemukan 1 F untuk mengganti Fools 3F di awal yaitu Financial Institutions atau lembaga pembiayaan. Dengan menimbang segala kelebihan dan kekurangannya, sekarang sobat UKM kalau butuh akses modal sudah tau kan harus ke mana!!!
Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.